Sabtu, 12 Maret 2011

stimulan sistem saraf pusat

Obat-obatan stimulan susunan saraf pusat adalah obat-obatan yang dapat bereaksi secara langsung ataupun tidak langsung terhadap sususnan saraf pusat. Efek perangsangan susunan saraf pusat baik oleh obat yang berasal dari alam ataupun sintettik dapat diperlihatkan pada hewan dan manusia. Perangsangan SSP oleh obat pada umumnya melalui dua mekanisme yaitu mengadakan blockade system penghambatan dan meninggika perangsangan sinaps. (Sunaryo, 1995)
Striknin
Strikinin merupakan alkaloid utama dalam nux vomica, biji tanaman Strychnos nux vomica. Striknin tidak bermanfaat untuk terapi, tetapi untuk menjelaskan fisiologi dan farmakologi susunan saraf. Obat ini menduduki tempat utama diantar obat yang bekerja secara sentral. (Sunaryo, 1995)
Menurut Utama (1995), Mekanisme kerja striknin yaitu:
• Merangsang semua bagian SSP, aksi ini dimulai pada medula spinalis, kemudian dengan meningkatnya konsentrasi striknin dalam otak (melewati batas kritis) maka impuls akan berpencar keseluruh SSP.
• Menimbulkan kejang tonik tanpa adanya fase klonik. Kejang ini pada otot ekstensor yang simetris. Dengan dosis suprakonvulsi, bahan ini menimbulkan atau memperlihatkan efek curariform pada neuromusculary junction.
• Pada kesadaran dimana terjadi konvulsi akan terjadi perubahan tekanan darah.
• Oleh karena rasanya pahit, maka berguna sebagai stomathicum untuk merangsang ujung saraf pengecap untuk menambah nafsu makan, dan secara reflextoir merangsang sekresi HCl lambung.
• Menghilangkan tahanan postsynaps medulla spinalis dengan cara menghambat aksi Ach pada inhibitory cells.(Utama, 1995)
Striknin bekerja dengan cara mengadakan antagonisme kompetitif terhadap transmitor penghambatan yaitu glisin di daerah penghambatan pasca sinaps.Striknin menyebabkan perangsangan pada semua bagian SSP.Obat ini merupakan konvulsan kuat dengan sifat kejang yang khas.Pada hewan coba konvulsi ini berupa ekstensi tonik dari badan dan semua anggota gerak.Gambaran konvulsi oleh striknin ini berbeda dengan konvulsi oleh obat yang merangsang langsung neuron pusat.Sifat khas lainnya darikejang striknin ialah kontraksi ekstensor yang simetris yang diperkuat oleh rangsangan sensorik yaitu pendengaran,penglihatan dan perabaan.Konvulsi seperti ini juga terjadi pada hewan yang hanya mempunyai medula spinalis.Striknin ternyata juga merangsang medula spinalis secara langsung.Atas dasar ini efek striknin dianggap berdasarkan kerjnya pada medula spinalis dan konvulsinya disebut konvulsi spinal (Sunaryo,1995).
Gejala keracunan striknin yang mula-mula timbul ialah kaku ototmuka dan leher.Setiap rangsangan sensorik dapat menimbulkan gerakan motorik hebat.Pada sta dium awal terjadi gerakan ekstensi yang masih terkoordinasi,akhirnya terjadi konvulsi tetanik.Episode kejang ini terjadi berulang,frekuensi dan hebatnya kejang bertambah dengan adanya perangsangan sensorik.Kontraksi otot ini menimbulkan nyeri hebat,dan penderita takut mati dalam serangan berikutnya (Sunaryo,1995).
Obat yang paling bermanfaat untuk mengatasi hal ini adalah diazepam 10 mg IV,sebab diazepam dapat melawan kejang tanpa menimbulkan potensiasi terhadap depresi post ictal,seperti yang umum terjadi pada penggunaan barbiturat atau depresan non selektif lainnya (Sunaryo,1995).
Diazepam
Benzodiazepin, pada hakikatnya, semua senyawa benzodiazepim memiliki daya kerja sebagai sedatif-hipnotis, antikonvulsif, dan daya relaksasi otot. Setiap efek ini dapat berbeda-beda kekuatannya padaiap derifat, yang juga memperlihatkan perbedaan jelas mengenai kecepatan resorpsi dan eliminasinya. Penggunaanaya, zat-zat yang sifat sedatif-hipnotisnya relatif lebih kuat dari sifat-sifat lainnya, terutama digunakan sebagai obat tidur. Penggunaan lainnya adalah sebagai spasmolitikum (zazt pelepas kejang), misalnya pada tetanus (khususnya klonazepam dan diazepam). Beberapa zat dengan daya antikinvulsif kuat digunakan pada epilepsi, khusunya klonazepam, juga diazepam dan nitrazepam (Tjay, 2007).
Keutungan obat-obat ini dibandingkan dengan barbital dan obat tidur lainnya adalah tidak atau hamper tidak merintangi tidur-REM. Dahulu, obat ini diduga tidak menimbulkan toleransi, tetapi ternyata bahwa efek hipnotisnya semakin berkurang setelah pemakaian 1-2 minggu, seperti cepatnya menidurkan, serta memperpanjang dan memperdalam tidur (Tjay, 2007).
Aksi farmakologik striknin
susunan saraf pusat :
• Eksitasi pada semua bagian sususnan saraf pusat
• Menaikkan eksitabilitas neuronal dengan memblok mekanisme inhibisinya
• Pada hewan: konvulsi tonik, fleksi semua anggota
• Tidak spesifik stimulasi medulla oblongata, oleh karena itu tidak dapat dipakai untuk memacu respirasi
Kardiovaskuler :
• Tensi beruba karena efek pada pusatvasomotor, termasuk medulla spinalis
Gastrointestinal:
• Stimulasi, dipakai pada atonik konstipasi
• Rasa pahit, enimbulkan stimulasi nafsu makan, stimulasi sekresi pada lambung
Otot skelet:
• Tonus naik
• Pada dosis suprakonvulsive menyebabkan aksi kurariform pada neuromuscular junction. (Samekto Wibowo dan Abdul Gofir, 2001)
Pada hewan coba konvulsi ini berupa ekstensi tonik dari badan dan semua anggota gerak. Gambaran konvulsi oleh striknin berbeda dengan konvulsi oleh obat yang merangsang langsung neuron pusat. Sifat khas kejang striknin ialah kontraksi ekstensor yang simetris yang diperkuat oleh rangsangan sensorik yaitu pendengaran, penglihatan, dan perabaan. (sakemto wibowo dan abdul gofir, 2001)
Striknin bekerja dengan cara mengadakan antagonisme kompetitif terhadap transmitter penghambatan yaitu glisin di daerah penghambatan pasca sinaps. Glisin adalah transmitter inhibitory postsynaptic yang predomina untuk mononeuron dan interneuron pada medulla spinalis. Striknin mampu memblokir selektif keduanya, inhibisi sinaptik yang diikuti postsinaptik dan efek inhibisi glisin pada neuro spinal. Striknin dan glisin berksi pada kompleks reseptor yang sama. Pada senter yang leboh tinggi di SSP, striknin juga diperantarai oleh glisin untuk beraksi. (Samekto Wibowo dan Abdul Gofir, 2001)
Striknin mudah diserap dari saluran cerna dan tempat suntikan, segera meninggalkan sirkulasi masuk ke jaringan. Kadar strikni di SSP tidak lebih tinggi daripada di jaringan lain. Striknin segera dimetabolisme terutama oleh enzim mikrosom sel hati dan diekskresi melalui urin. Pengobatan keracunan striknin ialah mencegah terjadinya kejang dan membantu pernapasan.(sakemto wibowo dan abdul gofir, 2001)
Struktur dasar dan unit fungsional sistem persyarafan adalah neuron, yang merupakan sel yang sangat khusus dan berbeda tetapi memiliki semua dasar biologi dan kimia yang dimiliki sel tubuh lainnya. Neuron terdiri dari badan sel (sama) dengan dua perpanjangan yaitu dendrit yang menerima informasi dari akson terminal pada tempat yang khusus yang disebut sinaps dan akson yang membawa informasi keluar dari badan sel ke neuron lain. Neuron juga dapat ditandai dengan adanya eksitabel yang artinya siap memberikan respon bila terstimulasi, karena pada saat terstimulasi resting potensial tidak strabil maka ada potensial aksi.(Tuti Pahria, 1996)
Masing-masing neuron mempunyai ciri kerentanan terhadap obat-obatan dan toxin. Ada beberapacontoh, tidak hanya kelompok sel-sel yang rusak oleh obat khusus, tetapi fungsi dan bagian tertentu dari strukturnya yang berubah. Obat-obatan mungkin ditargetkan ke akson terminal, dendrite, neurofilamen, reseptor pada permukaan presinaptik neuron atau aktivitas metaboliknya yang selalu merupakan tempat mereka mensintesa dan melepaskan neurotransmitter atau mempertahankan diri dengan sintesis RNA, DNA dan protein lainnya.(Tuti Pahria, 1996)
Neurotransmitter dan obat-obatan yang mempunyai titik tangkap pada reseptor neuronal sinaptik, dapat meningkatkan atau menurunkan permeabilitas chanel ion dan merangsang atau menghambat messenger sitoplasmik. Obat-obat golongan antidepresan juga mempunyai titik tangkap pada neurotransmitter dengan cara menghambat reuptake. (Tuti Pahria, 1996)
Impuls yang terdapat di suatu neuron akan diteruskan ke neuron lain . Hubungan satu neuron dengan neuron yang lain /tempat terjadinya pengantaran impuls disebut sinaps. Ujung dari akson mengandung substansi kimia (neurotransmitter) yang mempunyai sifat eksitasi dan inhibisi. Neurotransmitter yang bersifat eksitasi adalah asetilkolin , norepinefrin, dopamine, dan serotonin. Sedangkan yang bersifat inhibisi adalah GABA pada jaringan otak dan glisin pada medulla spinalis. (Tuti Pahria,1996)
Reseptor GABA
GABA disintesis pada tahun 1883, dan jauh sebelum itu telah diketahui GABA adalah produk mikrobia dan hasil metabolisme tanaman. Tidak sampai pada tahun 1950, atas kerja keras investigator, GABA diidentifikasi sebagai konstituen SSP mamalia dan tidak ditemukan pada jaringan lain. Maknanya penyebarannya, tidak seperti substans lainnya, yang tersebar baik di SSP dan system saraf tepi, sudah barang tentu GABA mempunyai beberapa karakteristik dan efek fisiologik yang khas, yang menjadikan fungsinya sangat penting dalam SSP (Harahap, 1999).
GABA (gamma-aminobutyric acid) merupakan neurotransmiter inhibitor utama di sistim saraf pusat mamalia dan terdapat pada hampir 40% saraf. Peran GABA sebagai neurotransmiter inhibitor didukung fakta bahwa banyak penyakit saraf yang disebabkan karena adanya degeneratif saraf GABAenergik, contohnya epilepsi, gangguan tidur, dan tardive dykinesia. GABA bekerja pada reseptornya yaitu reseptor GABA. Reseptor GABA terdapat dalam tiga tipe, yaitu reseptor GABAA, GABAB, dan GABAC . Reseptor GABAA dan GABAC merupakan keluarga reseptor ionotropik, sedangkan GABAB adalah reseptor metobotropik (terkait dengan protein G) (Ikawati, 2006).
Aktifitas reseptor GABA oleh neurotransmiternya menyebabkan membukanya kanal Cl- dan lebih lanjut akan memicu terjadinya hiperpolarisasi yang akan menghambat penghantaran potensial aksi. Dengan cara itulah GABA melakukan aksinya sebagai neurotransmiter inhibitor. Aktivitas reseptor GABA tadi menyebabkan depresi susunan saraf pusat. Karena itu, dapat dipahami bahwa beberapa antagonis reseptor GABA seperti pitrazepin, sekurinin, dan gabazin dapat menyebabkan efek pemicu saraf berupa konvulsi ( Ikawati, 2006).
Pengikatan GABA (asam gama aminobutirat) ke reseptornya pada membrane sel akan membuka saluran klorida, meningkatkan efek konduksi klorida. Aliran ion klorida yang masuk menyebabkan hiperpolarisasi lemah menurunkan potensi postsinaptik dari ambang letup dan meniadakan pembentukan kerja-potensial. Benzodiazepine terikat pada sisi spesifik dan berafinitas tinggi dari membrane sel, yang terpisah tetapi dekat reseptor GABA. Reseptor benzodiazepine terdapat hanya pada SSP dan lokasinya sejajar dengan neuron GABA. Pengikatan benzodiazepine memacu afinitas reseptor GABA untuk neurotransmitter yang bersangkutan, sehingga saluran klorida yang berdekatan lebih sering terbuka. Keadaan tersebut akan memacu hiperpolarisasi dan menghambat letupan neuron (Mycek, 2001).
Di otak terdapat dua kelompok neurotransmitter, yakni zat-zat seperti nor adrena lin dan serotonin yang memperlancar transmisi rangsangan listrik di sinaps. Selain itu juga terdapat zat-zat yang menghambat neurotransmisi itu, antara lain GABA dan glycine. GABA memiliki efek dopamin lemah, yang berdaya menghambat produksi prolaktin oleh hipofase. GABA terdapat praktis di seluruh otak dalam dua bentuk, GABA-A dan GABA-B. Dalam kerjanya berhubungan erat dengan reseptor benzodiazepin. Ternyata bahwa ada hubungan langsung antara serangan kejang dan GABA. Zat-zat yang memicu timbulnya konvulsi diketahui bersifat mengurangi aktivitas GABA. Di lain pihak, zat-zat yang memperkuat sistem penghambatan diatur oleh GABA berdaya antikonvulsi, antara lain benzodiazepin (diazepam, klonazepam) (Tjay,2007).





DAFTAR PUSTAKA
Harahap, Urip, dan Sumadio Hadisahputra. (1999). Telaah Penggunaan Benzodiazepin (BD) versus Strikhnin (STN) Pada Percobaan Stimulansia SSP Berdasarkan Tapak Tindak BD Neurotransmitter Inhibitori γ-aminobutyric acid (GABA) dan STN Pada Neurotransmitter Inhibitori Glisin di SSP. Medan : Media Farmasi Volume 7. Hal 17-33.
Ikawati, Z., (2006). Pengantar Farmakologi Molekuler. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press. Hal. 45-47.
Katzung, B. G., (1997). Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi VI. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal. 342.
Mycek, M. J., (2001). Farmakologi Ulasan Bergambar Edisi II. Jakarta: Widya Medika. Hal. 89-90.
Sunaryo., (1995). Perangsang Susunan Saraf Pusat, dalam Farmakologi Dan Terapi. Editor Sulistia G. Ganiswara. Edisi Keempat. Jakarta: Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal. 223-224.
Tjay, T. H., dan Rahardja Kirana. (2007). Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan, dan Efek-Efek Sampingnya Edisi Keenam. Jakarta: PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia. Hal. 389.
Utama, Hendra., Vincent HS Gan., (1995). Antikonvulsan, dalam Farmakologi dan Terapi Bab 12. Editor Sulistia G. Ganiswara. Edisi Keempat. Jakarta: Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal. 163-165
Tuti Pahria, (1996), Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Gangguan Sistem Persarafan, EGC, Jakarta. Hal :17.
Wibowo, Abdul Gofir, (2001), Farmakologi Terapi Dalam Neurologi, Edisi I, Salemba Medika, Jakarta. Hal :13-25.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar