Sabtu, 12 Maret 2011

parasimpatomimetik dan simpatomimetik

PARASIMPATOMIMETIK DAN SIMPATOMIMETIK
BAB I. PENDAHULUAN
Ukuran pupil tergantung beberapa factor antara lain umur, tingkat kesadaran, kuatnya penyinaran dan tingkat akomodasi. Perubahan diameter pupil dipengaruhi oleh aktifitas jaras eferen serabut simpatis dan parasimpatis. Fungsi saraf simpatis adalah dilatasi pupil dengan efek yang kurang bermakna pada otot siliaris sedangkan fungsi saraf parasimpatis adalah miosis pupil dengan efek terhadap kontraksi M.siliaris serta efek akomodasi. Jadi diameter pupil ditentukan oleh aksi antagonis antara M.sfingter pupilae dan m dilator pupilae. Otot kedua ini peranannya kecil. (Anonim, 2007)
Reaksi pupil terhadap cahaya kemungkinan berasal dari jaras yang sama dengan jaras rangsangan cahaya yang ditangkap oleh sel kerucut dan batang, yang mengakibatkan sinyal visual ke korteks oksipital. Jaras eferen pupilomotor ditransmisikan melalui N.optikus dan melalui hemidekusatio di chiasma. Kemudian jaras pupilomotor mengikuti jaras visuosensorik melalui traktus optikus dan keluar sebelum mencapaikorpus genikulatum lateral, kemudian masuk ke batang otak melalui brachium dari colliculus superior. Jaras atau neuron aferen tersebut kemudian membentuk sinaps denganN.c prektekal yang kemudian menuju Nc. Endinger westphal melalui neuron inter kalasi ipsilateral (berjalan kea rah ventral di dalam substansia kelabu peri akuaduktus) dan kontra lateral (dibagian dorsal akuaduktus didalam komissura posterior). Kemudian jaras pupilomotor (neuron eferen parasimpatomimetik) masing masing keluar dari Nc. Endanger westphal menuju ganglion siliaris ipsilateral dan bersinaps disini, kemudian neuron post ganglioner (N.siliaris brevis) menuju m.sfingter papillae. (Anonim, 2007)
Jaras eferen pupil keluar dari otak tengah bersama dengan N.III. jaras eferen pupil dibasis tengah otak terletak pada permukaan superior N.III yang dapat tertekan oleh aneurisma antara A komunikans posterior dan A kartis interna atau pada kejadian herniasi unkus. Ketika N.III berjalan kedepan melalui rongga subbarakhnoid dan masuk dinding lateral sinus kavernosus jaras pupil kemudian berjalan kebawah sekeliling luar saraf diantara bagiananterior sinus kavernosus dan posterior orbita. (Anonim, 2007)


















II. TUJUAN PERCOBAAN
- Untuk mengetahui efek yang ditimbulkan dari pilokarpin
- Untuk mengetahui efek yang ditimbulkan dari atropine
- Untuk mengetahui obat obat yang tergolong dalam obat kolinergik
- Untuk mengetahui obat obat yang tergolong dalam obat adrenergik
III. PRINSIP PERCOBAAN
Atropin merupakan antagonis kolinergik yang mempunyai efek yang berlawanan dengan pilokarpin yang merupakan agonis kolinergik. Penggunaan topikal pilokarpin pada kornea dapat menimbulkan miosis dengan cepat dan kontraksi otot siliaris, sedangkan atropin menyekat semua aktivitas kolinergik pada mata, sehingga menimbulkan midriasis (dilatasi pupil).


















IV. TINJAUAN PUSTAKA
Penyinaran terhadap salah satu mata pada orang normal akan menyebabkan kedia pupil berkontriksi. Rekasi pada pupil mata yang disinari secara langsung disebut respon direk/langsung sedangkan reaksi pupil mata sebelahnya disebut konsensual. Hal tersebut menjadi karena adanya hemidekusatio pada jaras pupilomotor dichiasma dan batang otak.
Penyinaran pada sinar yang redup pada salah satu mata yang orang normal akan menyebabkan kedua pupil berkontriksi. Sinar yang lebih terang akan menyebabkan kontraksi yang lebih kuat. Bila setelah menyinari satu mata, sinar secara cepat dipindahkan ke mata satunya, respon yang terjadi adalah kontriksi kedua pupil diikuti oleh redilatasi. Bila sinar dipindahkan ke sisi yang satunya, reaksi yang sama juga terjadi.
Gangguan pada n.optikus dapat mengakibatkan gangguan relative jaras eferen pupil (pupil marcus gunn). Test yang digunakan dinamakan test penyinaran secara alternat (swinging test), dimana bila mata yang sehat disinari cahaya kedua pupil akan berkontraksi kemudian re-dilatasi perlahan. Bila cahaya dipindahkan ke mata yang sakit, kontraksi kedua pupil berkurang atautidak ada re-dilatasi yang lebih lama dapat terjadi.
Yang dapat menyebabkan gangguan relative jarras eferen pupil : penyakit N.optikus unilateral atau bilateraldimana terkenanya kedua saraf tidak sama beratnya, penyakit retina, ambliopia, gangguan traktus optikus bila menyebabkan gangguan lapang pandang yang satu lebih berat dari yang lain.(braziz, 1990)
1. Epilepsi pada otak tengah
N.III dapat terkena demikian juga jaras popilomotor yang terkena adalah jaras dimana N.okulomotor keluar dari batang otak. Pupil menjadi kurang bereaksi terhadap cahaya dan berakomodasi, terdapat gangguan bola mata,ptosis dan ukuran pupil cenderung mid-dilatasi.
2. ganggua pada jaras eferen pupilomotor
Jaras eferen yang terkena adalahantara fraktus optikus dan Nc. Endanger westphal. Ada 3 sindroma yang penting, yaitu :
1. Pupil Argyll Robertson, terjadi pada pasien sifilis tertier yang mengenai susunan saraf pusat
Gejala :
• Pupil besar, sering ireguler
• Tidak bereaksi terhadap cahaya tetapi bereaksi terhadap akomodasi
• Sering disertai iris atrofi
Pemeriksaan tambahan pada fluorescent Treponemal Antibody Absorption Test (FTA-ABS)
2. Sindroma Parinaud’s dorsal midbrain. Kelainan terletak pada jaras eferen pupilomotord di pretektal setelah meninggalkan traktus optikus.
Gejala :
• Diameter pupil besar
• Reaksi cahaya kurang baik tetapi respon akomodasi baik
• Hypgaze paralisis, convergence retraction nystagmus, skew deviation hd retraction
• Etiologi tumor pineal, stroke, multiple sklerosis, hidrosefalus
3. Gangguan jaras eferen pupil pretektal
Lesi pretektal sering unilateral atau bilateral tetapi satu sisi lebih terkena dari yang lain. Kelainan respons pupil seperti lesi traktus optikus
3. Lesi pada saraf simpatetik
1. kelumpuhan pada N. okulomotor bersamaan dengan saraf parasimpatetik. gejala gangguan pupil (pupil midralis, reflex cahaya terganggu) disertai ptosis dan gerakan bola mata. Bila kelumpuhan sempurna, ukuran pupil tergantung sepenuhnya stimulant simpatis. Etiologi hernia unkus, meningitis basalis.
2. midriasis oleh sebab trauma
Trauma dapat merusak M.sfingter papillae dan midriasis, pada awalnya dapat terjadi miosis. Sering terjadi bersamaan dengan trauma kapitis, sehingga sering salah diagnose sebagai herniasi otak.
2. midrialis farmakologik
Gejala pupil dilatasi dan gangguan reaksi terhadap cahayadan akomodasi. Dengan pemberian pilokarpin 0,5% - 1%, konstriksi pupil minimal, sedang pada parese N.III dan pupil tenik dengan pemberian pilokarpin terjadi kontriksi pupil.
3. Pupil tonik (Adie’s sindroma)
Terjadi respon cahaya yang terganggu dan respon akomodasi yang normal dan dilatasi yang lambat setelah akomodasi. Terjadi 70% pada wanita unilateral pada 80% kasus, 4% kasus dapat menjadi bilateral. Pada stadium awal pupil dilatasi dan sangat reaktif. Pada slit lamp dapat terlihat beberapa segmen sfineter berkontriksi, dengan refiksasi pada penglihatan jauh dan redilatasi pupil yang lambat. Anisokor dapat terlihat pada respon akomodasi, dimana pupil yang tonik, setelah upaya akomodasi, focus ulang terhadap penglihatan jauh dapat terhambat. Dapat menjadi fotofobi, reflex KPR/APR, yang menurun,reflex tendon dalam terganggu. Pupil tonik sangat sensitive terhadap parasimpatomimetik topical (methacolie 2.5% , pilokarpin). Kontriksi pupil lebih hebat pada pupiltonik dibandingkan mata normaldan dapat menyebabkan nyeri karena spasme M.siliaris. pada pemeriksaan ganglion siliaris terdapat pengurangan jumlah sel ganglion. Etiologi tidak diketahui . beberapa kondisi yang menyebabkan pupil mata tonik antara lain ; herpes zoster, varicella arteri, tis tempotralis, sifilis.
4. Lesi pada simpatetis
Lesi sepanjang jaras simpatetis dapat menyebabkan horners syndrome (ptosis, miosis, anhidrosisi wajah ipsilateral, enophthalmus). (Burde, 1985)
Pemeriksaan :
• Anisokor terutama dengan pencahayaan yang redup dan yang terkena gagak berdilatasi (dilatation lag). Anisokor biasanya maksimal setelah 5 detik pemcahayaan
• Reaksi cahaya dan akomodasi normal
Etiologi :
• Preganglioner horner’s syndrome disebabkan lesi susunan saraf pusat (disertai dengan anhidrosis tubuh sesisi). Bila lesi di neuron anhidrosis pada sebelah wajah, tumor apeks paru (pancoast tumor), aneurisma arteri thorakalis, trauma bleksus brakhialis
• Post ganglioner horner’s syndrome. Terjadi pada susunan saraf pusat anhidrosis tidak ada atau terbatas didahi),cluster headache, diseksi spontan A.karotis, readers parratrigeminal syndrome (biasa pada pria setengah baya dengan horner’s syndrome, nyeri kepala bukan tipe cluster dan tidak temukan lagi kelainan patologi)
Letak lesi penyebab sindroma horner perlu ditentukan, sebab lesi distal terhadap ganglion servikal superior biasanya 98% jinak, sedangkan lesi proksimal terhadapnya 50% ganas. Pada arah yang sering etrjadi adalah congenital horner’s syndrome yang disebabkan oleh trauma lahir, atau adanya nerotoblastoma yang tumbuh pada jaras simpatetik. Pada lesi yang konginetal ddapat terjadi dengan heterocromia iris.
Diagnose :
• Dengan topical cocaine 4-10%, pada mata normal terjadi dilatasi sedangkan pada horner’s syndrome dilatasi sangat berkurang. Cocaine memblokir reuptakenor-epineprin yang dilepaskan oleh neuron simpatik ketiga. Lesi jaras simpatis menyebabkan berkurangnya epineprin yang dilepaskan eleh neuron sehingga pupil sisi tersebut tidak akan berdilatasi.
• Paredrin 1% (hidroksi amfetamin) untuk menentukan lokasi lesi. Efek paredrine malepaskan nor-epineprin dari terminal presinaptik. Pada lesi post ganglioner , saraf terminal mengalami degenerasi sehingga terjadi gangguan dilatasi pupil pada pemberian paredrin, sedangkan pada lesi preganglion, jaras post ganglion masih intaksehingga peredrin mengakibatkan dilatasi pupil.(Glaser, 1978)
Obat golongan ini disebut obat adrenergik karena efek yang ditimbulkannya mirip perangsangan saraf adrenergik, atau mirip efek neurotransmitor norepinefrin dan epinefrin dari susunan saraf simpatis.
a. Kerja obat adrenergik dapat dibagi dalam 7 jenis yaitu :
1. Perangsang perifer terhadap otot polos pembuluh darah kulit dan mukosa, dan terhadap kelenjar liur dan keringat.
2. Penghambatan perifer terhadap otot polos usus, bronkus, dan pembuluh darah otot rangka.
3. Perangsangan jantung, dengan akibat peningkatan denyut jantung dan kekuatan kontraksi.
4. Perangsangan SSP, misalnya perangsangan pernapasan, penungkatan kewaspadaan, aktivitas psikomotor, dan pengurangan nafsu makan.
5. Efek metabolik, misalnya peningkatan glikogenolisis di hati dan otot, lipolisis dan pelepasan asam lemak bebas dari jaringan lemak
6. Efek endokrin, misalnya mempengaruhi sekresi insulin, renin dan hormone hipofisis.
7. Efek prasinaptik, dengan akibat hambatan atau peningkatan pelepasan neurotransmitter NE dan Ach.(Anonim, 2011)
b. Kerja obat adrenergik dibagi 2 yaitu :
1. Obat adrenergik kerja langsung
Kebanyakan obat adrenergik bekerja secara langsung pada reseptor adrenergic di membran sel efektor, tetapi berbagai obat adrenergik tersebut berbeda dalam kapasitasnya untuk mengaktifkan berbagai jenis reseptor adrenergic. Misalnya, isoproterenol praktis hanya bekerja pada reseptor β dan sedikit sekali pengaruhnya pada reseptor α sebaliknya, fenilefrin praktis hanya menunjukan pada reseptor α. Jadi suatu obat adrenergic dapat diduga bila diketahui reseptor mana yang terutama dipengaruhi oleh obat.
2. Obat adrenergik kerja tidak langsung
Banyak obat adrenergik, misalnya amfetamin dan efedrin bekerja secara tidak lansung artinya menimbulkan efek adrenergik melalui pelepasan NE yang tersimpan dalam ujung saraf adrenergic. Pemberian obat-obat ini secara terus menerus dalam waktu singkat singkat akan menimbulkan takifilaksis.
c. Epinefrin
Pada umunya pemberian Epi menimbulkan efek mirip stimulasi saraf adrenergik.
a. Efek yang paling menonjol pada epinefrin
1. Kardiovaskular (pembuluh darah)
Efek vaskular Epi terutama pada arteriol kecil dan sfingter prekapiler, tetapi vena dan arteri besar juga dipengaruhi. Pembuluh darah kulit, mukosa dan ginjal mengalami konstriksi akibat aktivasi reseptor α oleh Epi. Pada manusia pemberian Epi dalam dosis terapi menimbulkan kenaikan tekanan darah tidak menyebabkan konstriksi arteriol otak, tetapi menimbulkan peningkatan aliran darah otak.
2. Arteri koroner
Epi meningkatkan aliran darah koroner tetapi Epi juga dapat menurunkan aliran darah kroner karena kompresi akibat peningkatan kontraksi otot jantung dan karena vasokonstriksi pembulu darah koroner akibat efek reseptor α.
3. Jantung
Epi mengaktivasi reseptor β1 di otot jantung, sel pacu jantung dan jaringan konduksi. Epi mempercepat konduksi sepanjang jaringan konduksi mulai dari atrium ke nodus atrioventrikular (AV), sepanjang bundle of His dan serat purkinje sampai ke ventrikel. Epi memperkuat kontraksi dan mempercepat relaksasi serta memperpendek waktu sistolik tanpa mengurangi waktu diastolik.
4. Tekanan darah
Pemberian Epi pada manusia secara SK atau secara IV dengan lambat menyebabkan kenaikan tekanan sistolik yang sedang dan penurunan diastolik. Tekanan nadi bertambah besar, tetapi tekanan darah rata-rata (mean arterial pressure) jarang sekali menunjukkan kenaikan yang besar.
5. Otot polos
Efek Epi pada otot polos berbagai organ bergantung pada jenis reseptor adrenergik pada otot polos yang bersangkutan.(Tjay Hoan, 1991)
b. Intoksikasi, efek samping dan kontraindikasi
Pemberian Epi dapat menimbulkan gejala seperti takut, khawatir, gelisah, tegang, nyeri kepala berdenyut, tremor, rasa lemah, pusing, pucat, sukar bernapas dan palpitasi. Gejala-gejala ini mereda dengan cepat setelah istirahat. Dosis Epi yang besar atau penyuntika IV cepat yang tidak disengaja dapat menimbulkan perdarahan otak karena kenaikan tekanan darah yang hebat. Bahkan penyuntikan SK 0,5 ml larutan 1 : 1000 dapat menimbulkan perdarahan subaraknoid dan hemiplegia, untuk mengatasinya, dapat dibrikan vasodilator yang kerjanya cepat, misalnya nitrit atau natrium nitroprusid, α-bloker mungkin juga berguna.
Epi dikontraindikasikan pada penderita yang mendapat α-bloker nonselektif, karena kerjanya yang tidak terimbangi pada eseptor α pembuluh darah dapat menyebabkan hipertensi yang berat dan perdarahan otak.
c. Penggunaan klinis
Manfaat Epi dalam klinis digunakan untuk menghilangkan sesak napas akibat bronkokonstriksi, untuk mengatasi reaksi hipersensitivitas terhadap obat maupun allergen lainnya, dan untuk memperpanjang masa kerja anestetik lokal. Epi dapat juga digunakan untuk merangsang jantung pada waktu henti jantung oleh berbagai sebab. Secara lokal obat ini digunakan untuk menghentikan perdarahan kapiler.
d. Posologi dan sediaan
Suntikan epinefrin adalah larutan steril 1 : 1000 Epi HCL dalam air untuk penyuntikan SK, ini digunakan untuk mengatasi syok anafilaktik dan reaksi-reaksi hipersensitivitas akut lainnya. Dosis dewasa berkisar antara 0,2-0,5 mg (0,2-0,5 ml larutan 1 : 1.000). untuk penyuntikan IV, yang jarang dilakukan, larutan ini harus diencerkan lagi dan harus disuntikkan dengan sangat perlahan-lahan. Dosisnya jarang sampai 0,25 mg, kecuali pada henti jantung, dosis 0,5 mg dapat diberikan tiap 5 menit. Penyuntikan intrakardial kadang-kadang dilakukan untuk resusitasi dalam keadaan darurat (0,3-0,5 mg).
Inhalasi epinefrin adalah larutan tidak steril 1% Epi HCL atau 2% Epi bitartrat dalam air untuk inhalasi oral (bukan nasal) yang digunakan untuk menghilangkan bronkokonstriksi.
Epinefrin tetes mata adalah larutan 0,1-2% Epi HCL 0,5-2% Epi borat dan 2% Epi bitartrat.
d. Norepinefrin
Obat ini dikenal sebagai levarterenol, I-arterenol atau I-noradrenalin dan kmerupakan neurotransmitor yang dilepas oleh serat pasca ganglion adrenergik. NE bekerja terutama pada reseptor α, tetapi efeknya masih sedikit lebih lemah bila dibandingkan dengan Epi. NE mempunyai efek β1 pada jantung yang sebanding dengan Epi, tetapi efek β2nya jauh lebih lemah daripada Epi. Infus NE pada manusia menimbulkan peningkatan tekanan diastolik, tekanan sistolik dan biasanya juga tekanan nadi. Intoksikasi, efek samping dan kontraindikasi, Efek samping NE yang paling umum berupa rasa kuatir, sukar bernapas, denyut jantung yang lambat tetapi kuat dan nyeri kepala selintas. Dosis berlebihan atau dosis biasa pada penderita yang hiper-reaktif (misalnya penderita hipertiroid) menyebabkan hipertensi berat dengan nyeri kepala yang hebat, fotofobia, nyeri dada, pucat, berkeringat banyak dan muntah. Obat ini merupakan kontraindikasi pada anesthesia dengan obat-obat yang menyebabkan sensitisasi jantung karena dapat timbul aritmia. Ne digunakan untuk pengobatan syok kardiogenik
e. Isoproterenol
Obat ini merupakan amin simpatomimetik yang kerjanya paling kuat pada semua reseptor β dan hampir tidak bekerja pada reptor α. Infus isoproterenol pada manusia menurunkan resistensi perifer, terutama pada otot rangka, ginjal dan ,esenterium sehingga tekanan diatolik menurun. (American Academy, 1994)
Dekongestan yang umum meliputi pseudoephedrine, phenylephrine, dan oxymetazoline. PPA (phenylpropanolamine) di Amerika Serikat merupakan dekongestan yang ditarik dari pasar karena hubungannya dengan kardiomiopati (kerusakan otot jantung) dan perdarahan otak, namun obat ini masih dimasukkan di banyak literatur. Dekongestan adalah agen simpatomimetik yang mengurangi hidung tersumbat dengan menyebabkan penyempitan pembuluh darah. Dekongestan memperbaiki jalan napas dengan mengurangi volume darah dan bengkak pada lapisan lender hidung dan sinus paranasal. Dekongestan terdapat baik dalam bentuk topikal (diberikan langsung pada tempatnya, dalam hal ini hidung) dan sistemik (beredar dalam pembuluh darah). Dekongestan hidung bentuk topikal dapat menyebabkan sumbatan balik (rebound), yang terutama berbahaya pada bayi usia 6 bulan atau kurang yang sangat bergantung pada aliran udara hidung untuk pernapasan. Jika digunakan, obat ini sebaiknya diberikan tidak lebih dari 72 jam. Penggunaan dekongestan topikan terus-menerus dapat menyebabkan rhinitis medikamentosa, suatu peradangan hidung kronik.(Anonim, 2011)








DAFTAR PUSTAKA
Anonim, (2007)
http://www.kelainan-pupil-mata/FK/bagianbedah/.html
Anonim, (2011)
http://www.arfan_obat-otonom/simpatomimetik-atau-adrenergik.html
Anonim, (2011)
http://www.Dekongestan.Milis-Sehat.htm
American Academy of Ophthalmology, neuro ophthalmology, basic and clinical
science course, 1994-1995, 5:130-144
Braziz PW., Maedeu JC. The localization off lession in oculomotor system, in
localization in the clinical neurology. London : Little Brown, 1990: 144
Burde, RM. Et al. Aniscocoria and abnormal pupilary light reactions, in clinical
decisions in neuroophthalmology, Mosby, 1985: 221-245
Glaser Joel S. The pupil and accomodation, in neuroophthalmology, Maryland ;
Herper & Row, 1978:35, 36, 174-179
Tjay hoan Tiondan dian raharja kirana, 1991. Obat-obat penting .Edisi IV.Jakarta : PT.Elex media kompatindo

2 komentar:

  1. kayaknya hasil copy paste dah ini,,,, dah pernah liat.....

    BalasHapus
  2. itu jurnal lab gua...
    bukan copi paste namanya..
    gua kan nulis jurnalnya banyak referensi
    ada dari buku dan ada dari web,, gitu lohhhh
    makanya lu blg uda pernah liat
    tp pasti susunannya kaga sama donkk

    BalasHapus