Minggu, 20 November 2011

KATA KATA MOTIVASI

SUARA KEHIDUPANKU
Suara kehidupanku memang tak akan mampu menjangkau telinga kehidupanmu;
tapi marilah kita cuba saling bicara barangkali kita dapat mengusir
kesepian dan tidak merasa jemu.

KEINDAHAN KEHIDUPAN
Keindahan adalah kehidupan itu sendiri saat ia membuka tabir
penutup wajahnya. Dan kalian adalah kehidupannya itu, kalianlah
cadar itu. Keindahan adalah keabadian yag termangu di depan cermin. Dan
kalian; adalah keabadian itu, kalianlah cermin itu.
PENDERITAAN
Penderitaan yang menyakitkan adalah koyaknya kulit pembungkus
kesadaran- seperti pecahnya kulit buah supaya intinya terbuka merekah
bagi sinar matahari yang tercurah.
Kalian memiliki takdir kepastian untuk merasakan penderitaan dan
kepedihan. Jika hati kalian masih tergetar oleh rasa takjub menyaksikan
keajaiban yang terjadi dalam kehidupan, maka pedihnya penderitaan tidak
kalah menakjubkan daripada kesenangan.
Banyak di antara yang kalian menderita adalah pilihan kalian sendiri
- ubat pahit kehidupan agar manusia sembuh dari luka hati dan penyakit
jiwa. Percayalah tabib kehidupan dan teguk habis ramuan pahit itu
dengan cekal dan tanpa bicara.

SAHABAT
Sahabat adalah keperluan jiwa yang mesti dipenuhi.
Dialah ladang hati, yang kau taburi dengan kasih dan kau subur dengan penuh rasa terima kasih.
Dan dia pulalah naungan dan pendianganmu. Kerana kau menghampirinya
saat hati lupa dan mencarinya saat jiwa memerlukan kedamaian.

SIKAP MANUSIA
Jauhkan aku dari manusia yang tidak mahu menyatakan kebenaran
kecuali jika ia berniat menyakiti hati, dan dari manusia yang bersikap
baik tapi berniat buruk, dan dari manusia yang mendapatkan penghargaan
dengan jalan memperlihatkan kesalahan orang lain.

DUA HATI
Orang yang berjiwa besar memiliki dua hati; satu hati menangis dan yang satu lagi bersabar.

HUTANG KEHIDUPAN
Periksalah buku kenanganmu semalam, dan engkau akan tahu bahwa engkau masih berhutang kepada manusia dan kehidupan.

INSPIRASI
Inspirasi akan selalu bernyanyi; kerana inspirasi tidak pernah menjelaskan.

POHON
Pohon adalah syair yang ditulis bumi pada langit. Kita tebang
pohon itu dan menjadikannya kertas, dan di atasnya kita tulis kehampaan
kita.

FALSAFAH HIDUP
Hidup adalah kegelapan jika tanpa hasrat dan keinginan. Dan
semua hasrat -keinginan adalah buta, jika tidak disertai pengetahuan .
Dan pengetahuan adalah hampa jika tidak diikuti pelajaran. Dan setiap
pelajaran akan sia-sia jika tidak disertai cinta

KERJA
Bekerja dengan rasa cinta, bererti menyatukan diri dengan diri kalian sendiri,dengan diri orang lain dan kepada Tuhan.
Tapi bagaimanakah bekerja dengan rasa cinta itu ? Bagaikan menenun
kain dengan benang yang ditarik dari jantungmu, seolah-olah kekasihmu
yang akan memakainya kelak.

LAGU GEMBIRA
Alangkah mulianya hati yang sedih tetapi dapat menyanyikan lagu kegembiraan bersama hati-hati yang gembira.

KEBEBASAN
Ada orang mengatakan padaku, “Jika engkau melihat ada hamba
tertidur, jangan dibangunkan, barangkali ia sedang bermimpi akan
kebebasan.”
Kujawab,”Jika engkau melihat ada hamba tertidur, bangunkan dia dan ajaklah berbicara tentang kebebasan.”

ORANG TERPUJI
Sungguh terpuji orang yang malu bila menerima pujian, dan tetap diam bila tertimpa fitnah.

BERJALAN SEIRINGAN
Aku akan berjalan bersama mereka yang berjalan. Kerana aku tidak akan
berdiri diam sebagai penonton yang menyaksikan perarakan berlalu.

DOA
Doa adalah lagu hati yang membimbing ke arah singgahsana Tuhan meskipun ditingkah oleh suara ribuan orang yang sedang meratap.

Rabu, 16 Maret 2011

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Invitro
Prngaruh temperature terhadap absorpsi ibuprofen pada usus halus kelinci yang dihomogenkan
Sebagian besar obat diberikan secara oral dan obat-obat ini harus melewati dinding usus untuk memasuki aliran darah.Proses absorpsi ini dipengaruhi oleh banyak faktor namun biasanya sesuai dengan kelarutan obat dalam lemak.Oleh karena itu,absorpsi molekul yang tidak terionisasi dipermudah karena molekul-molekul ini jauh lebih larut lemak daripada molekul-molekul terionisasi dan molekul-molekul terionisasi ini diselubungi oleh suatu cangkang molekul air.Obat diabsorpsi terutama di usus halus karena permukaannya luas.Hal ini berlaku bahkan untuk asam lemah (misalnya aspirin) yang tidak terionisasi dalam asam (HCl )lambung.Obat yang diabsorpsi dari saluran gastrointestinal memasuki sirkulasi portal dan beberapa obat dimetabolisme secara luas saat obat melewati hati (metabolisme lintas pertama).Obat yang cukup larut dalam lemak untuk dapat diabsorpsi secara oral,dengan cepat terdistribusi ke seluruh kompartemen cairan tubuh.Banyak obat berikatan lemah dengan albumin plasma dan terbentuklah keseimbangan antara obat terikat dan obat bebas dalam plasma.Obat yang terikat pada protein plasma hanya terdapat pada sistem vaskular dan tidak dapat menimbulkan aksi farmakologis (Lemont B.Kier,1997).
Jika obat diberikan secara suntikan intravena,maka obat masuk ke dalam darah dan secar cepat terdistribusi ke jaringan.Penurunan konsentrasi obat dalam plasma dari waktu ke waktu (yaitu kecepatan eliminasi obat)dapat diukur dengan mengambil sampel darah secara berulang.Pada awalnya sering kali konsentrasi menurun dengan cepat,namun kemudian kecepatan penurunn berkurang secara progresif.Kurvatersebut disebut eksponensial,dan hal ini berarti pada waktu tertentu terdapat eliminasi fraksi konstan obat dalam satu satuan waktu.Banyak obat menunjukkan suatu penurunan eksponensial dalam konsentrasi plasma karena kecepatan kerja proses eliminasi obat biasanya proporsional terhadap konsentrasi obat dalam plasma.Proses yang terlibat adalah:
1.Eliminasi melalui urin oleh filtrasi glomerolus
2.Metabolisme,boasanya oleh hati
3.Ambilan oleh hati dan selanjutnya eliminasi melalui empedu (Lemont B.Kier,1997).
Proses yang tergantung pada konsentrasi pada suatu waktu tertentu disebut derajat pertama dan sebagian besar obat menunjukkan kinetika eliminasi derajat pertama.Jika sistem enzim yang bertanggung jawab untuk metabolisme obat menjadi tersaturasi,maka kinetika eliminasi berubah menjadi derajat nol,dimana kecepatan eliminasi berlangsung pada dengan kecepatan konstan dan tidak dipengaruhi oleh konsentrasi obat yang meningkat (misalnya etanol,fenitoin) (Lemont B.Kier,1997).
Absorpsi obat.
Jalur pemakaian obat menentukan apakah faktor-faktor penentu pada saluran gastrointestinal berpengaruh.Absorpsi kebanyakan obat dari lambung bergantung atas apkah obat mampu berada dalam bentuktidak terionisasi,yakni bentuk yang lebih larut dalam lipida dalam asam lambung.Obat-obat sebagian besar akan tidak terionisasi.Oleh karena itu absorpsi melalui dinding lambung dimungkinkan.Intestin kecil bertambah kurang keasamannya pada jarak yang semakin jauh dari lambung.Akibatnya molekul obat yang netral sampai basa akan tidak diionisasikan dalam lingkungan ini dan kesempatan absorpsi melalui dinding bertambah (Lemont B.Kier,1997).
Faktor-faktor ini bergantung pKa dan oleh karena itu perlu untuk dipelajari dengan menggunakan teori orbital molekul sebagai pendekatan energi relatif yang terlibat dalam protonasi dalam suatu seri senyawa yang mirip (Lemont B.Kier,1997).
Harga pKa yang menguntungkan dalam suatu molekul tidak menjamin bahwa ia akan diabsorpsi atau terdifusi melaui membran penghalang.Bila transpor aktif tidak terlibat,difusi aktual atau proses penembusan membran penghalang dikontrol oleh faktor termodinamik.Komplikasi lebih lanjut timbul dari kemungkinan pembentukan komplek yang tak terabsorpsi dengan beberapa molekul seperti mukopolisakarida dalam lumen atau pada dinding saluran pencernaan.Dua efek yang khir ini secara tidak langsung terelasi dengan indeks molekul orbital yang terkalkulasi,tetapi bila mungkin dikeluarkan dari data absorpsi dengan maksud agar absorpsi terelasi dengan pKa dengan indeks orbital molekul yang terkalkulasi (Lemont B.Kier,1997).
Pada umumnya produk obat mengalami proses absorpsi sistemik melalui suatu rangkaian proses.Proses tersebut meliputi ;
(1).disintegrasi produk obat yang diikuti pelepasan obat (2).pelarutan obat dalam media aqueous (3).absorpsi melewati membran sel menuju sirkulasi sistemik.
Di dalam proses disintegrasi obat,pelarutan,dan absorpsi,kecepatan obat mencapai sistem sirkulasi ditentukan oleh tahapan yang paling lambat dari rangkaian di atas(Shargel,2005).
Tahap yang paling lambat di dalam suatu rangkaian proses kinetik disebut tahap penentu keceppatan(rate limiting step).Kecuali untuk produk-produk sustained release atau prolonged action disintegrasi obat obat yang berbentuk padat umumnya lebih cepat daripada pelarutan dan absorpsi obat.Untuk obat-obat yang mempunyai pelarutan yang kecil di dalam air,laju pelarutan sering kali merupakan tahap yang paling lambat,oleh karena itu mengakibatkan terjadinya efek penentu kecepatan terhadap bioavailabilitas obat.Demikian juga sebaliknya(Shargel,2005).
Spektofotometri UV-Vis dapat digunakan untuk informasi kualitatif sekaligus dapat digunakan untuk analisis kuantitatif. Spektra UV-Vis menggunakan Hukum Lambert Beer yang menyatakan bahwa intensitas yang diteruskan oleh larutan zat penyerap sebanding dengan tebal dan konsentrasi larutan.
A = a x b x c
A=Absorbansi,a=absorptivitas,b=tebal kuvet,c=konsentrasi (Rohman,2007).
2.2.Bioavailabilitas Obat
Untuk menjamin ekivalensi terapeutik dan klinik dari suatu produk obat dalam berbagai batch produksi, secara ideal penting untuk mengukur secara tepat efek klinik dan potensi dari sampel yang representatif dari masing-masing batch produk obat tersebut. Walaupun demikian, pada prakteknya hal tersebut tidak mungkin dilakukan karena adanya pertimbangan praktis dan aspek etis seperti :
1) Uji klinik memerlukan populasi penderita yang ekstensif dengan jenis dan keparahanpenyakit yang seragam 2) Uji klinik pelaksanaannya kompleks dan mahal 3) Teknik pengukuran yang obyektif sulit ditemukan dan seringkali tidak sensitif terhadap berbagai kondisi penyakit. Cara pendekatan yang terbaik untuk memperkirakan efek klinik suatu obat adalah dengan pengukuran kadar obat dalam darah, karena ada hubungan yang erat antara kadar obat dalam darah dengan efek klinik obat tersebutUji laju disolusi dan uji difraksi sinar X merupakan 2 contoh prosedur laboratoris yang dapat merefleksikan perilaku obat in-vivo. Uji ini telah dimasukkan dalam USP dan NF dan telah diterapkan pada sejumlah obat. Uji laju disolusi mengukur laju disolusi sejumlah obat dalam medium tertentu dan pada kondisi tertentu. Uji difraksi sinar X melengkapi beberapa indikasi dari laju dan jumlah obat yang melarut, dengan demikian akan bermanfaat dalam memperkirakan absorpsi obat. Sementara kedua uji ini bukan merupakan uji bioavailabilitas yang sebenarnya, maka kedua uji ini hanya merupakan indikator yang dapat digunakan untuk memperkirakan bioavailabilitas obat. Suatu industri obat yang mempunyai data klinik atau informasi yang menunjukkan bahwa produk obatnya secara klinik efektif, dan bila data ini dikorelasikan dengan uji in vitro dengan tepat, dan bila formulasi serta prosedur produksi tidak berubah, maka konsistensi dari batch ke batch dapat dijamin dengan melakukan uji laju disolusi (Ringoringo,1985).
Transpor Aktif
Tidak semua molekul bisa ditransport secara pasif karena ukuranya, maka perlu sistem transpor lain yaitu pompa ATP. Pompa ATP adalah pergerakan molekul zatelewati membran dengan menggunakan energi. Sumbernya dari energi metabolik yang dihasilkan dalam bentuk ATP (Anonim, 2010)
selain butuh energi transpor aktif juga butuh protein membran sebagai pembawa. Kelebihan transpor aktif yaitu :
-bisa mengangkut molekul yang besar.
-menangkut melawan perbedaan konsentrasi.
-zat yang diangkut dapat ditimbun dalam sel.
-Endosistosis dan Eksositosis
Eendositosis dan eksositosis adalah cara molekul besar melintasi membran. Cara ini dibantu oleh lipidbilayer, yaitu dengan cara menyelubungi partikel sehingga sel yang tadinya terdapat dilur akan masuk kedalam. Endositosis terdiri atas dua macam, yaitu fagositosis (penelanan bulat”)dan pinositosis(penelanan cair) (Anonim, 2010)
Eksositosis yaitu penyelubungan partikel yang kaan dibuang dengan membran lipid bilayer. Kemudian membran yang menyelubungi partikel akan bergabung dengan membran sel, sehingga partikel di dalamnya akan dibebaskan keluar. Eksositosis digunakan untuk menyekresi sekres. Seperti insulin atau neurotransmitter dari neuron (Anonim , 2010)




DAFTAR PUSTAKA
Aiache, J.M , Devissaguet,J dan Guyot-Herman, A.M.(1993). Farmasetika 2 Biofarmasi. Edisi II, Penerjemah : W. Soeratri. Surabaya: Airlangga University Press. Hal 35, 247-248
Anonim.(2010). Transportasi Zat Melewati Membran http://funwithbiology.wordpress.com/2010/04/20/transportasi-zat-melintasi-membran/
Lemont B.Kier,.(1997). Asas Asas Kimia Medisinal, Edisi Keempat, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, Halaman 270-271
Gennaro, A.R .(2001). Remington : The Science And Practice Of Pharmacy. 20 th Edition. Volume II. India :n Lippincot Williams and Wilkins. Pages 1111.
Ringoringo,V.S.(1985).
Bioavailabilitas Obat.http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/
11_BioavailabilitasObat.pdf/11_BioavailabilitasObat.pdf
Rohman,A.(2007).Kimia Farmasi Analisis.Yogyakarta:UGM Press.Hal. 242.
Shargel,L.(1988)Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan. Penerjemah: Fasich dan Sjamsiah.Edisi Kedua. Surabaya: Penerbit Airlangga University Press. Hal. 99-102,454-456

Sabtu, 12 Maret 2011

AKU UNTUKMU 

stimulan sistem saraf pusat

Obat-obatan stimulan susunan saraf pusat adalah obat-obatan yang dapat bereaksi secara langsung ataupun tidak langsung terhadap sususnan saraf pusat. Efek perangsangan susunan saraf pusat baik oleh obat yang berasal dari alam ataupun sintettik dapat diperlihatkan pada hewan dan manusia. Perangsangan SSP oleh obat pada umumnya melalui dua mekanisme yaitu mengadakan blockade system penghambatan dan meninggika perangsangan sinaps. (Sunaryo, 1995)
Striknin
Strikinin merupakan alkaloid utama dalam nux vomica, biji tanaman Strychnos nux vomica. Striknin tidak bermanfaat untuk terapi, tetapi untuk menjelaskan fisiologi dan farmakologi susunan saraf. Obat ini menduduki tempat utama diantar obat yang bekerja secara sentral. (Sunaryo, 1995)
Menurut Utama (1995), Mekanisme kerja striknin yaitu:
• Merangsang semua bagian SSP, aksi ini dimulai pada medula spinalis, kemudian dengan meningkatnya konsentrasi striknin dalam otak (melewati batas kritis) maka impuls akan berpencar keseluruh SSP.
• Menimbulkan kejang tonik tanpa adanya fase klonik. Kejang ini pada otot ekstensor yang simetris. Dengan dosis suprakonvulsi, bahan ini menimbulkan atau memperlihatkan efek curariform pada neuromusculary junction.
• Pada kesadaran dimana terjadi konvulsi akan terjadi perubahan tekanan darah.
• Oleh karena rasanya pahit, maka berguna sebagai stomathicum untuk merangsang ujung saraf pengecap untuk menambah nafsu makan, dan secara reflextoir merangsang sekresi HCl lambung.
• Menghilangkan tahanan postsynaps medulla spinalis dengan cara menghambat aksi Ach pada inhibitory cells.(Utama, 1995)
Striknin bekerja dengan cara mengadakan antagonisme kompetitif terhadap transmitor penghambatan yaitu glisin di daerah penghambatan pasca sinaps.Striknin menyebabkan perangsangan pada semua bagian SSP.Obat ini merupakan konvulsan kuat dengan sifat kejang yang khas.Pada hewan coba konvulsi ini berupa ekstensi tonik dari badan dan semua anggota gerak.Gambaran konvulsi oleh striknin ini berbeda dengan konvulsi oleh obat yang merangsang langsung neuron pusat.Sifat khas lainnya darikejang striknin ialah kontraksi ekstensor yang simetris yang diperkuat oleh rangsangan sensorik yaitu pendengaran,penglihatan dan perabaan.Konvulsi seperti ini juga terjadi pada hewan yang hanya mempunyai medula spinalis.Striknin ternyata juga merangsang medula spinalis secara langsung.Atas dasar ini efek striknin dianggap berdasarkan kerjnya pada medula spinalis dan konvulsinya disebut konvulsi spinal (Sunaryo,1995).
Gejala keracunan striknin yang mula-mula timbul ialah kaku ototmuka dan leher.Setiap rangsangan sensorik dapat menimbulkan gerakan motorik hebat.Pada sta dium awal terjadi gerakan ekstensi yang masih terkoordinasi,akhirnya terjadi konvulsi tetanik.Episode kejang ini terjadi berulang,frekuensi dan hebatnya kejang bertambah dengan adanya perangsangan sensorik.Kontraksi otot ini menimbulkan nyeri hebat,dan penderita takut mati dalam serangan berikutnya (Sunaryo,1995).
Obat yang paling bermanfaat untuk mengatasi hal ini adalah diazepam 10 mg IV,sebab diazepam dapat melawan kejang tanpa menimbulkan potensiasi terhadap depresi post ictal,seperti yang umum terjadi pada penggunaan barbiturat atau depresan non selektif lainnya (Sunaryo,1995).
Diazepam
Benzodiazepin, pada hakikatnya, semua senyawa benzodiazepim memiliki daya kerja sebagai sedatif-hipnotis, antikonvulsif, dan daya relaksasi otot. Setiap efek ini dapat berbeda-beda kekuatannya padaiap derifat, yang juga memperlihatkan perbedaan jelas mengenai kecepatan resorpsi dan eliminasinya. Penggunaanaya, zat-zat yang sifat sedatif-hipnotisnya relatif lebih kuat dari sifat-sifat lainnya, terutama digunakan sebagai obat tidur. Penggunaan lainnya adalah sebagai spasmolitikum (zazt pelepas kejang), misalnya pada tetanus (khususnya klonazepam dan diazepam). Beberapa zat dengan daya antikinvulsif kuat digunakan pada epilepsi, khusunya klonazepam, juga diazepam dan nitrazepam (Tjay, 2007).
Keutungan obat-obat ini dibandingkan dengan barbital dan obat tidur lainnya adalah tidak atau hamper tidak merintangi tidur-REM. Dahulu, obat ini diduga tidak menimbulkan toleransi, tetapi ternyata bahwa efek hipnotisnya semakin berkurang setelah pemakaian 1-2 minggu, seperti cepatnya menidurkan, serta memperpanjang dan memperdalam tidur (Tjay, 2007).
Aksi farmakologik striknin
susunan saraf pusat :
• Eksitasi pada semua bagian sususnan saraf pusat
• Menaikkan eksitabilitas neuronal dengan memblok mekanisme inhibisinya
• Pada hewan: konvulsi tonik, fleksi semua anggota
• Tidak spesifik stimulasi medulla oblongata, oleh karena itu tidak dapat dipakai untuk memacu respirasi
Kardiovaskuler :
• Tensi beruba karena efek pada pusatvasomotor, termasuk medulla spinalis
Gastrointestinal:
• Stimulasi, dipakai pada atonik konstipasi
• Rasa pahit, enimbulkan stimulasi nafsu makan, stimulasi sekresi pada lambung
Otot skelet:
• Tonus naik
• Pada dosis suprakonvulsive menyebabkan aksi kurariform pada neuromuscular junction. (Samekto Wibowo dan Abdul Gofir, 2001)
Pada hewan coba konvulsi ini berupa ekstensi tonik dari badan dan semua anggota gerak. Gambaran konvulsi oleh striknin berbeda dengan konvulsi oleh obat yang merangsang langsung neuron pusat. Sifat khas kejang striknin ialah kontraksi ekstensor yang simetris yang diperkuat oleh rangsangan sensorik yaitu pendengaran, penglihatan, dan perabaan. (sakemto wibowo dan abdul gofir, 2001)
Striknin bekerja dengan cara mengadakan antagonisme kompetitif terhadap transmitter penghambatan yaitu glisin di daerah penghambatan pasca sinaps. Glisin adalah transmitter inhibitory postsynaptic yang predomina untuk mononeuron dan interneuron pada medulla spinalis. Striknin mampu memblokir selektif keduanya, inhibisi sinaptik yang diikuti postsinaptik dan efek inhibisi glisin pada neuro spinal. Striknin dan glisin berksi pada kompleks reseptor yang sama. Pada senter yang leboh tinggi di SSP, striknin juga diperantarai oleh glisin untuk beraksi. (Samekto Wibowo dan Abdul Gofir, 2001)
Striknin mudah diserap dari saluran cerna dan tempat suntikan, segera meninggalkan sirkulasi masuk ke jaringan. Kadar strikni di SSP tidak lebih tinggi daripada di jaringan lain. Striknin segera dimetabolisme terutama oleh enzim mikrosom sel hati dan diekskresi melalui urin. Pengobatan keracunan striknin ialah mencegah terjadinya kejang dan membantu pernapasan.(sakemto wibowo dan abdul gofir, 2001)
Struktur dasar dan unit fungsional sistem persyarafan adalah neuron, yang merupakan sel yang sangat khusus dan berbeda tetapi memiliki semua dasar biologi dan kimia yang dimiliki sel tubuh lainnya. Neuron terdiri dari badan sel (sama) dengan dua perpanjangan yaitu dendrit yang menerima informasi dari akson terminal pada tempat yang khusus yang disebut sinaps dan akson yang membawa informasi keluar dari badan sel ke neuron lain. Neuron juga dapat ditandai dengan adanya eksitabel yang artinya siap memberikan respon bila terstimulasi, karena pada saat terstimulasi resting potensial tidak strabil maka ada potensial aksi.(Tuti Pahria, 1996)
Masing-masing neuron mempunyai ciri kerentanan terhadap obat-obatan dan toxin. Ada beberapacontoh, tidak hanya kelompok sel-sel yang rusak oleh obat khusus, tetapi fungsi dan bagian tertentu dari strukturnya yang berubah. Obat-obatan mungkin ditargetkan ke akson terminal, dendrite, neurofilamen, reseptor pada permukaan presinaptik neuron atau aktivitas metaboliknya yang selalu merupakan tempat mereka mensintesa dan melepaskan neurotransmitter atau mempertahankan diri dengan sintesis RNA, DNA dan protein lainnya.(Tuti Pahria, 1996)
Neurotransmitter dan obat-obatan yang mempunyai titik tangkap pada reseptor neuronal sinaptik, dapat meningkatkan atau menurunkan permeabilitas chanel ion dan merangsang atau menghambat messenger sitoplasmik. Obat-obat golongan antidepresan juga mempunyai titik tangkap pada neurotransmitter dengan cara menghambat reuptake. (Tuti Pahria, 1996)
Impuls yang terdapat di suatu neuron akan diteruskan ke neuron lain . Hubungan satu neuron dengan neuron yang lain /tempat terjadinya pengantaran impuls disebut sinaps. Ujung dari akson mengandung substansi kimia (neurotransmitter) yang mempunyai sifat eksitasi dan inhibisi. Neurotransmitter yang bersifat eksitasi adalah asetilkolin , norepinefrin, dopamine, dan serotonin. Sedangkan yang bersifat inhibisi adalah GABA pada jaringan otak dan glisin pada medulla spinalis. (Tuti Pahria,1996)
Reseptor GABA
GABA disintesis pada tahun 1883, dan jauh sebelum itu telah diketahui GABA adalah produk mikrobia dan hasil metabolisme tanaman. Tidak sampai pada tahun 1950, atas kerja keras investigator, GABA diidentifikasi sebagai konstituen SSP mamalia dan tidak ditemukan pada jaringan lain. Maknanya penyebarannya, tidak seperti substans lainnya, yang tersebar baik di SSP dan system saraf tepi, sudah barang tentu GABA mempunyai beberapa karakteristik dan efek fisiologik yang khas, yang menjadikan fungsinya sangat penting dalam SSP (Harahap, 1999).
GABA (gamma-aminobutyric acid) merupakan neurotransmiter inhibitor utama di sistim saraf pusat mamalia dan terdapat pada hampir 40% saraf. Peran GABA sebagai neurotransmiter inhibitor didukung fakta bahwa banyak penyakit saraf yang disebabkan karena adanya degeneratif saraf GABAenergik, contohnya epilepsi, gangguan tidur, dan tardive dykinesia. GABA bekerja pada reseptornya yaitu reseptor GABA. Reseptor GABA terdapat dalam tiga tipe, yaitu reseptor GABAA, GABAB, dan GABAC . Reseptor GABAA dan GABAC merupakan keluarga reseptor ionotropik, sedangkan GABAB adalah reseptor metobotropik (terkait dengan protein G) (Ikawati, 2006).
Aktifitas reseptor GABA oleh neurotransmiternya menyebabkan membukanya kanal Cl- dan lebih lanjut akan memicu terjadinya hiperpolarisasi yang akan menghambat penghantaran potensial aksi. Dengan cara itulah GABA melakukan aksinya sebagai neurotransmiter inhibitor. Aktivitas reseptor GABA tadi menyebabkan depresi susunan saraf pusat. Karena itu, dapat dipahami bahwa beberapa antagonis reseptor GABA seperti pitrazepin, sekurinin, dan gabazin dapat menyebabkan efek pemicu saraf berupa konvulsi ( Ikawati, 2006).
Pengikatan GABA (asam gama aminobutirat) ke reseptornya pada membrane sel akan membuka saluran klorida, meningkatkan efek konduksi klorida. Aliran ion klorida yang masuk menyebabkan hiperpolarisasi lemah menurunkan potensi postsinaptik dari ambang letup dan meniadakan pembentukan kerja-potensial. Benzodiazepine terikat pada sisi spesifik dan berafinitas tinggi dari membrane sel, yang terpisah tetapi dekat reseptor GABA. Reseptor benzodiazepine terdapat hanya pada SSP dan lokasinya sejajar dengan neuron GABA. Pengikatan benzodiazepine memacu afinitas reseptor GABA untuk neurotransmitter yang bersangkutan, sehingga saluran klorida yang berdekatan lebih sering terbuka. Keadaan tersebut akan memacu hiperpolarisasi dan menghambat letupan neuron (Mycek, 2001).
Di otak terdapat dua kelompok neurotransmitter, yakni zat-zat seperti nor adrena lin dan serotonin yang memperlancar transmisi rangsangan listrik di sinaps. Selain itu juga terdapat zat-zat yang menghambat neurotransmisi itu, antara lain GABA dan glycine. GABA memiliki efek dopamin lemah, yang berdaya menghambat produksi prolaktin oleh hipofase. GABA terdapat praktis di seluruh otak dalam dua bentuk, GABA-A dan GABA-B. Dalam kerjanya berhubungan erat dengan reseptor benzodiazepin. Ternyata bahwa ada hubungan langsung antara serangan kejang dan GABA. Zat-zat yang memicu timbulnya konvulsi diketahui bersifat mengurangi aktivitas GABA. Di lain pihak, zat-zat yang memperkuat sistem penghambatan diatur oleh GABA berdaya antikonvulsi, antara lain benzodiazepin (diazepam, klonazepam) (Tjay,2007).





DAFTAR PUSTAKA
Harahap, Urip, dan Sumadio Hadisahputra. (1999). Telaah Penggunaan Benzodiazepin (BD) versus Strikhnin (STN) Pada Percobaan Stimulansia SSP Berdasarkan Tapak Tindak BD Neurotransmitter Inhibitori γ-aminobutyric acid (GABA) dan STN Pada Neurotransmitter Inhibitori Glisin di SSP. Medan : Media Farmasi Volume 7. Hal 17-33.
Ikawati, Z., (2006). Pengantar Farmakologi Molekuler. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press. Hal. 45-47.
Katzung, B. G., (1997). Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi VI. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal. 342.
Mycek, M. J., (2001). Farmakologi Ulasan Bergambar Edisi II. Jakarta: Widya Medika. Hal. 89-90.
Sunaryo., (1995). Perangsang Susunan Saraf Pusat, dalam Farmakologi Dan Terapi. Editor Sulistia G. Ganiswara. Edisi Keempat. Jakarta: Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal. 223-224.
Tjay, T. H., dan Rahardja Kirana. (2007). Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan, dan Efek-Efek Sampingnya Edisi Keenam. Jakarta: PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia. Hal. 389.
Utama, Hendra., Vincent HS Gan., (1995). Antikonvulsan, dalam Farmakologi dan Terapi Bab 12. Editor Sulistia G. Ganiswara. Edisi Keempat. Jakarta: Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal. 163-165
Tuti Pahria, (1996), Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Gangguan Sistem Persarafan, EGC, Jakarta. Hal :17.
Wibowo, Abdul Gofir, (2001), Farmakologi Terapi Dalam Neurologi, Edisi I, Salemba Medika, Jakarta. Hal :13-25.

parasimpatomimetik dan simpatomimetik

PARASIMPATOMIMETIK DAN SIMPATOMIMETIK
BAB I. PENDAHULUAN
Ukuran pupil tergantung beberapa factor antara lain umur, tingkat kesadaran, kuatnya penyinaran dan tingkat akomodasi. Perubahan diameter pupil dipengaruhi oleh aktifitas jaras eferen serabut simpatis dan parasimpatis. Fungsi saraf simpatis adalah dilatasi pupil dengan efek yang kurang bermakna pada otot siliaris sedangkan fungsi saraf parasimpatis adalah miosis pupil dengan efek terhadap kontraksi M.siliaris serta efek akomodasi. Jadi diameter pupil ditentukan oleh aksi antagonis antara M.sfingter pupilae dan m dilator pupilae. Otot kedua ini peranannya kecil. (Anonim, 2007)
Reaksi pupil terhadap cahaya kemungkinan berasal dari jaras yang sama dengan jaras rangsangan cahaya yang ditangkap oleh sel kerucut dan batang, yang mengakibatkan sinyal visual ke korteks oksipital. Jaras eferen pupilomotor ditransmisikan melalui N.optikus dan melalui hemidekusatio di chiasma. Kemudian jaras pupilomotor mengikuti jaras visuosensorik melalui traktus optikus dan keluar sebelum mencapaikorpus genikulatum lateral, kemudian masuk ke batang otak melalui brachium dari colliculus superior. Jaras atau neuron aferen tersebut kemudian membentuk sinaps denganN.c prektekal yang kemudian menuju Nc. Endinger westphal melalui neuron inter kalasi ipsilateral (berjalan kea rah ventral di dalam substansia kelabu peri akuaduktus) dan kontra lateral (dibagian dorsal akuaduktus didalam komissura posterior). Kemudian jaras pupilomotor (neuron eferen parasimpatomimetik) masing masing keluar dari Nc. Endanger westphal menuju ganglion siliaris ipsilateral dan bersinaps disini, kemudian neuron post ganglioner (N.siliaris brevis) menuju m.sfingter papillae. (Anonim, 2007)
Jaras eferen pupil keluar dari otak tengah bersama dengan N.III. jaras eferen pupil dibasis tengah otak terletak pada permukaan superior N.III yang dapat tertekan oleh aneurisma antara A komunikans posterior dan A kartis interna atau pada kejadian herniasi unkus. Ketika N.III berjalan kedepan melalui rongga subbarakhnoid dan masuk dinding lateral sinus kavernosus jaras pupil kemudian berjalan kebawah sekeliling luar saraf diantara bagiananterior sinus kavernosus dan posterior orbita. (Anonim, 2007)


















II. TUJUAN PERCOBAAN
- Untuk mengetahui efek yang ditimbulkan dari pilokarpin
- Untuk mengetahui efek yang ditimbulkan dari atropine
- Untuk mengetahui obat obat yang tergolong dalam obat kolinergik
- Untuk mengetahui obat obat yang tergolong dalam obat adrenergik
III. PRINSIP PERCOBAAN
Atropin merupakan antagonis kolinergik yang mempunyai efek yang berlawanan dengan pilokarpin yang merupakan agonis kolinergik. Penggunaan topikal pilokarpin pada kornea dapat menimbulkan miosis dengan cepat dan kontraksi otot siliaris, sedangkan atropin menyekat semua aktivitas kolinergik pada mata, sehingga menimbulkan midriasis (dilatasi pupil).


















IV. TINJAUAN PUSTAKA
Penyinaran terhadap salah satu mata pada orang normal akan menyebabkan kedia pupil berkontriksi. Rekasi pada pupil mata yang disinari secara langsung disebut respon direk/langsung sedangkan reaksi pupil mata sebelahnya disebut konsensual. Hal tersebut menjadi karena adanya hemidekusatio pada jaras pupilomotor dichiasma dan batang otak.
Penyinaran pada sinar yang redup pada salah satu mata yang orang normal akan menyebabkan kedua pupil berkontriksi. Sinar yang lebih terang akan menyebabkan kontraksi yang lebih kuat. Bila setelah menyinari satu mata, sinar secara cepat dipindahkan ke mata satunya, respon yang terjadi adalah kontriksi kedua pupil diikuti oleh redilatasi. Bila sinar dipindahkan ke sisi yang satunya, reaksi yang sama juga terjadi.
Gangguan pada n.optikus dapat mengakibatkan gangguan relative jaras eferen pupil (pupil marcus gunn). Test yang digunakan dinamakan test penyinaran secara alternat (swinging test), dimana bila mata yang sehat disinari cahaya kedua pupil akan berkontraksi kemudian re-dilatasi perlahan. Bila cahaya dipindahkan ke mata yang sakit, kontraksi kedua pupil berkurang atautidak ada re-dilatasi yang lebih lama dapat terjadi.
Yang dapat menyebabkan gangguan relative jarras eferen pupil : penyakit N.optikus unilateral atau bilateraldimana terkenanya kedua saraf tidak sama beratnya, penyakit retina, ambliopia, gangguan traktus optikus bila menyebabkan gangguan lapang pandang yang satu lebih berat dari yang lain.(braziz, 1990)
1. Epilepsi pada otak tengah
N.III dapat terkena demikian juga jaras popilomotor yang terkena adalah jaras dimana N.okulomotor keluar dari batang otak. Pupil menjadi kurang bereaksi terhadap cahaya dan berakomodasi, terdapat gangguan bola mata,ptosis dan ukuran pupil cenderung mid-dilatasi.
2. ganggua pada jaras eferen pupilomotor
Jaras eferen yang terkena adalahantara fraktus optikus dan Nc. Endanger westphal. Ada 3 sindroma yang penting, yaitu :
1. Pupil Argyll Robertson, terjadi pada pasien sifilis tertier yang mengenai susunan saraf pusat
Gejala :
• Pupil besar, sering ireguler
• Tidak bereaksi terhadap cahaya tetapi bereaksi terhadap akomodasi
• Sering disertai iris atrofi
Pemeriksaan tambahan pada fluorescent Treponemal Antibody Absorption Test (FTA-ABS)
2. Sindroma Parinaud’s dorsal midbrain. Kelainan terletak pada jaras eferen pupilomotord di pretektal setelah meninggalkan traktus optikus.
Gejala :
• Diameter pupil besar
• Reaksi cahaya kurang baik tetapi respon akomodasi baik
• Hypgaze paralisis, convergence retraction nystagmus, skew deviation hd retraction
• Etiologi tumor pineal, stroke, multiple sklerosis, hidrosefalus
3. Gangguan jaras eferen pupil pretektal
Lesi pretektal sering unilateral atau bilateral tetapi satu sisi lebih terkena dari yang lain. Kelainan respons pupil seperti lesi traktus optikus
3. Lesi pada saraf simpatetik
1. kelumpuhan pada N. okulomotor bersamaan dengan saraf parasimpatetik. gejala gangguan pupil (pupil midralis, reflex cahaya terganggu) disertai ptosis dan gerakan bola mata. Bila kelumpuhan sempurna, ukuran pupil tergantung sepenuhnya stimulant simpatis. Etiologi hernia unkus, meningitis basalis.
2. midriasis oleh sebab trauma
Trauma dapat merusak M.sfingter papillae dan midriasis, pada awalnya dapat terjadi miosis. Sering terjadi bersamaan dengan trauma kapitis, sehingga sering salah diagnose sebagai herniasi otak.
2. midrialis farmakologik
Gejala pupil dilatasi dan gangguan reaksi terhadap cahayadan akomodasi. Dengan pemberian pilokarpin 0,5% - 1%, konstriksi pupil minimal, sedang pada parese N.III dan pupil tenik dengan pemberian pilokarpin terjadi kontriksi pupil.
3. Pupil tonik (Adie’s sindroma)
Terjadi respon cahaya yang terganggu dan respon akomodasi yang normal dan dilatasi yang lambat setelah akomodasi. Terjadi 70% pada wanita unilateral pada 80% kasus, 4% kasus dapat menjadi bilateral. Pada stadium awal pupil dilatasi dan sangat reaktif. Pada slit lamp dapat terlihat beberapa segmen sfineter berkontriksi, dengan refiksasi pada penglihatan jauh dan redilatasi pupil yang lambat. Anisokor dapat terlihat pada respon akomodasi, dimana pupil yang tonik, setelah upaya akomodasi, focus ulang terhadap penglihatan jauh dapat terhambat. Dapat menjadi fotofobi, reflex KPR/APR, yang menurun,reflex tendon dalam terganggu. Pupil tonik sangat sensitive terhadap parasimpatomimetik topical (methacolie 2.5% , pilokarpin). Kontriksi pupil lebih hebat pada pupiltonik dibandingkan mata normaldan dapat menyebabkan nyeri karena spasme M.siliaris. pada pemeriksaan ganglion siliaris terdapat pengurangan jumlah sel ganglion. Etiologi tidak diketahui . beberapa kondisi yang menyebabkan pupil mata tonik antara lain ; herpes zoster, varicella arteri, tis tempotralis, sifilis.
4. Lesi pada simpatetis
Lesi sepanjang jaras simpatetis dapat menyebabkan horners syndrome (ptosis, miosis, anhidrosisi wajah ipsilateral, enophthalmus). (Burde, 1985)
Pemeriksaan :
• Anisokor terutama dengan pencahayaan yang redup dan yang terkena gagak berdilatasi (dilatation lag). Anisokor biasanya maksimal setelah 5 detik pemcahayaan
• Reaksi cahaya dan akomodasi normal
Etiologi :
• Preganglioner horner’s syndrome disebabkan lesi susunan saraf pusat (disertai dengan anhidrosis tubuh sesisi). Bila lesi di neuron anhidrosis pada sebelah wajah, tumor apeks paru (pancoast tumor), aneurisma arteri thorakalis, trauma bleksus brakhialis
• Post ganglioner horner’s syndrome. Terjadi pada susunan saraf pusat anhidrosis tidak ada atau terbatas didahi),cluster headache, diseksi spontan A.karotis, readers parratrigeminal syndrome (biasa pada pria setengah baya dengan horner’s syndrome, nyeri kepala bukan tipe cluster dan tidak temukan lagi kelainan patologi)
Letak lesi penyebab sindroma horner perlu ditentukan, sebab lesi distal terhadap ganglion servikal superior biasanya 98% jinak, sedangkan lesi proksimal terhadapnya 50% ganas. Pada arah yang sering etrjadi adalah congenital horner’s syndrome yang disebabkan oleh trauma lahir, atau adanya nerotoblastoma yang tumbuh pada jaras simpatetik. Pada lesi yang konginetal ddapat terjadi dengan heterocromia iris.
Diagnose :
• Dengan topical cocaine 4-10%, pada mata normal terjadi dilatasi sedangkan pada horner’s syndrome dilatasi sangat berkurang. Cocaine memblokir reuptakenor-epineprin yang dilepaskan oleh neuron simpatik ketiga. Lesi jaras simpatis menyebabkan berkurangnya epineprin yang dilepaskan eleh neuron sehingga pupil sisi tersebut tidak akan berdilatasi.
• Paredrin 1% (hidroksi amfetamin) untuk menentukan lokasi lesi. Efek paredrine malepaskan nor-epineprin dari terminal presinaptik. Pada lesi post ganglioner , saraf terminal mengalami degenerasi sehingga terjadi gangguan dilatasi pupil pada pemberian paredrin, sedangkan pada lesi preganglion, jaras post ganglion masih intaksehingga peredrin mengakibatkan dilatasi pupil.(Glaser, 1978)
Obat golongan ini disebut obat adrenergik karena efek yang ditimbulkannya mirip perangsangan saraf adrenergik, atau mirip efek neurotransmitor norepinefrin dan epinefrin dari susunan saraf simpatis.
a. Kerja obat adrenergik dapat dibagi dalam 7 jenis yaitu :
1. Perangsang perifer terhadap otot polos pembuluh darah kulit dan mukosa, dan terhadap kelenjar liur dan keringat.
2. Penghambatan perifer terhadap otot polos usus, bronkus, dan pembuluh darah otot rangka.
3. Perangsangan jantung, dengan akibat peningkatan denyut jantung dan kekuatan kontraksi.
4. Perangsangan SSP, misalnya perangsangan pernapasan, penungkatan kewaspadaan, aktivitas psikomotor, dan pengurangan nafsu makan.
5. Efek metabolik, misalnya peningkatan glikogenolisis di hati dan otot, lipolisis dan pelepasan asam lemak bebas dari jaringan lemak
6. Efek endokrin, misalnya mempengaruhi sekresi insulin, renin dan hormone hipofisis.
7. Efek prasinaptik, dengan akibat hambatan atau peningkatan pelepasan neurotransmitter NE dan Ach.(Anonim, 2011)
b. Kerja obat adrenergik dibagi 2 yaitu :
1. Obat adrenergik kerja langsung
Kebanyakan obat adrenergik bekerja secara langsung pada reseptor adrenergic di membran sel efektor, tetapi berbagai obat adrenergik tersebut berbeda dalam kapasitasnya untuk mengaktifkan berbagai jenis reseptor adrenergic. Misalnya, isoproterenol praktis hanya bekerja pada reseptor β dan sedikit sekali pengaruhnya pada reseptor α sebaliknya, fenilefrin praktis hanya menunjukan pada reseptor α. Jadi suatu obat adrenergic dapat diduga bila diketahui reseptor mana yang terutama dipengaruhi oleh obat.
2. Obat adrenergik kerja tidak langsung
Banyak obat adrenergik, misalnya amfetamin dan efedrin bekerja secara tidak lansung artinya menimbulkan efek adrenergik melalui pelepasan NE yang tersimpan dalam ujung saraf adrenergic. Pemberian obat-obat ini secara terus menerus dalam waktu singkat singkat akan menimbulkan takifilaksis.
c. Epinefrin
Pada umunya pemberian Epi menimbulkan efek mirip stimulasi saraf adrenergik.
a. Efek yang paling menonjol pada epinefrin
1. Kardiovaskular (pembuluh darah)
Efek vaskular Epi terutama pada arteriol kecil dan sfingter prekapiler, tetapi vena dan arteri besar juga dipengaruhi. Pembuluh darah kulit, mukosa dan ginjal mengalami konstriksi akibat aktivasi reseptor α oleh Epi. Pada manusia pemberian Epi dalam dosis terapi menimbulkan kenaikan tekanan darah tidak menyebabkan konstriksi arteriol otak, tetapi menimbulkan peningkatan aliran darah otak.
2. Arteri koroner
Epi meningkatkan aliran darah koroner tetapi Epi juga dapat menurunkan aliran darah kroner karena kompresi akibat peningkatan kontraksi otot jantung dan karena vasokonstriksi pembulu darah koroner akibat efek reseptor α.
3. Jantung
Epi mengaktivasi reseptor β1 di otot jantung, sel pacu jantung dan jaringan konduksi. Epi mempercepat konduksi sepanjang jaringan konduksi mulai dari atrium ke nodus atrioventrikular (AV), sepanjang bundle of His dan serat purkinje sampai ke ventrikel. Epi memperkuat kontraksi dan mempercepat relaksasi serta memperpendek waktu sistolik tanpa mengurangi waktu diastolik.
4. Tekanan darah
Pemberian Epi pada manusia secara SK atau secara IV dengan lambat menyebabkan kenaikan tekanan sistolik yang sedang dan penurunan diastolik. Tekanan nadi bertambah besar, tetapi tekanan darah rata-rata (mean arterial pressure) jarang sekali menunjukkan kenaikan yang besar.
5. Otot polos
Efek Epi pada otot polos berbagai organ bergantung pada jenis reseptor adrenergik pada otot polos yang bersangkutan.(Tjay Hoan, 1991)
b. Intoksikasi, efek samping dan kontraindikasi
Pemberian Epi dapat menimbulkan gejala seperti takut, khawatir, gelisah, tegang, nyeri kepala berdenyut, tremor, rasa lemah, pusing, pucat, sukar bernapas dan palpitasi. Gejala-gejala ini mereda dengan cepat setelah istirahat. Dosis Epi yang besar atau penyuntika IV cepat yang tidak disengaja dapat menimbulkan perdarahan otak karena kenaikan tekanan darah yang hebat. Bahkan penyuntikan SK 0,5 ml larutan 1 : 1000 dapat menimbulkan perdarahan subaraknoid dan hemiplegia, untuk mengatasinya, dapat dibrikan vasodilator yang kerjanya cepat, misalnya nitrit atau natrium nitroprusid, α-bloker mungkin juga berguna.
Epi dikontraindikasikan pada penderita yang mendapat α-bloker nonselektif, karena kerjanya yang tidak terimbangi pada eseptor α pembuluh darah dapat menyebabkan hipertensi yang berat dan perdarahan otak.
c. Penggunaan klinis
Manfaat Epi dalam klinis digunakan untuk menghilangkan sesak napas akibat bronkokonstriksi, untuk mengatasi reaksi hipersensitivitas terhadap obat maupun allergen lainnya, dan untuk memperpanjang masa kerja anestetik lokal. Epi dapat juga digunakan untuk merangsang jantung pada waktu henti jantung oleh berbagai sebab. Secara lokal obat ini digunakan untuk menghentikan perdarahan kapiler.
d. Posologi dan sediaan
Suntikan epinefrin adalah larutan steril 1 : 1000 Epi HCL dalam air untuk penyuntikan SK, ini digunakan untuk mengatasi syok anafilaktik dan reaksi-reaksi hipersensitivitas akut lainnya. Dosis dewasa berkisar antara 0,2-0,5 mg (0,2-0,5 ml larutan 1 : 1.000). untuk penyuntikan IV, yang jarang dilakukan, larutan ini harus diencerkan lagi dan harus disuntikkan dengan sangat perlahan-lahan. Dosisnya jarang sampai 0,25 mg, kecuali pada henti jantung, dosis 0,5 mg dapat diberikan tiap 5 menit. Penyuntikan intrakardial kadang-kadang dilakukan untuk resusitasi dalam keadaan darurat (0,3-0,5 mg).
Inhalasi epinefrin adalah larutan tidak steril 1% Epi HCL atau 2% Epi bitartrat dalam air untuk inhalasi oral (bukan nasal) yang digunakan untuk menghilangkan bronkokonstriksi.
Epinefrin tetes mata adalah larutan 0,1-2% Epi HCL 0,5-2% Epi borat dan 2% Epi bitartrat.
d. Norepinefrin
Obat ini dikenal sebagai levarterenol, I-arterenol atau I-noradrenalin dan kmerupakan neurotransmitor yang dilepas oleh serat pasca ganglion adrenergik. NE bekerja terutama pada reseptor α, tetapi efeknya masih sedikit lebih lemah bila dibandingkan dengan Epi. NE mempunyai efek β1 pada jantung yang sebanding dengan Epi, tetapi efek β2nya jauh lebih lemah daripada Epi. Infus NE pada manusia menimbulkan peningkatan tekanan diastolik, tekanan sistolik dan biasanya juga tekanan nadi. Intoksikasi, efek samping dan kontraindikasi, Efek samping NE yang paling umum berupa rasa kuatir, sukar bernapas, denyut jantung yang lambat tetapi kuat dan nyeri kepala selintas. Dosis berlebihan atau dosis biasa pada penderita yang hiper-reaktif (misalnya penderita hipertiroid) menyebabkan hipertensi berat dengan nyeri kepala yang hebat, fotofobia, nyeri dada, pucat, berkeringat banyak dan muntah. Obat ini merupakan kontraindikasi pada anesthesia dengan obat-obat yang menyebabkan sensitisasi jantung karena dapat timbul aritmia. Ne digunakan untuk pengobatan syok kardiogenik
e. Isoproterenol
Obat ini merupakan amin simpatomimetik yang kerjanya paling kuat pada semua reseptor β dan hampir tidak bekerja pada reptor α. Infus isoproterenol pada manusia menurunkan resistensi perifer, terutama pada otot rangka, ginjal dan ,esenterium sehingga tekanan diatolik menurun. (American Academy, 1994)
Dekongestan yang umum meliputi pseudoephedrine, phenylephrine, dan oxymetazoline. PPA (phenylpropanolamine) di Amerika Serikat merupakan dekongestan yang ditarik dari pasar karena hubungannya dengan kardiomiopati (kerusakan otot jantung) dan perdarahan otak, namun obat ini masih dimasukkan di banyak literatur. Dekongestan adalah agen simpatomimetik yang mengurangi hidung tersumbat dengan menyebabkan penyempitan pembuluh darah. Dekongestan memperbaiki jalan napas dengan mengurangi volume darah dan bengkak pada lapisan lender hidung dan sinus paranasal. Dekongestan terdapat baik dalam bentuk topikal (diberikan langsung pada tempatnya, dalam hal ini hidung) dan sistemik (beredar dalam pembuluh darah). Dekongestan hidung bentuk topikal dapat menyebabkan sumbatan balik (rebound), yang terutama berbahaya pada bayi usia 6 bulan atau kurang yang sangat bergantung pada aliran udara hidung untuk pernapasan. Jika digunakan, obat ini sebaiknya diberikan tidak lebih dari 72 jam. Penggunaan dekongestan topikan terus-menerus dapat menyebabkan rhinitis medikamentosa, suatu peradangan hidung kronik.(Anonim, 2011)








DAFTAR PUSTAKA
Anonim, (2007)
http://www.kelainan-pupil-mata/FK/bagianbedah/.html
Anonim, (2011)
http://www.arfan_obat-otonom/simpatomimetik-atau-adrenergik.html
Anonim, (2011)
http://www.Dekongestan.Milis-Sehat.htm
American Academy of Ophthalmology, neuro ophthalmology, basic and clinical
science course, 1994-1995, 5:130-144
Braziz PW., Maedeu JC. The localization off lession in oculomotor system, in
localization in the clinical neurology. London : Little Brown, 1990: 144
Burde, RM. Et al. Aniscocoria and abnormal pupilary light reactions, in clinical
decisions in neuroophthalmology, Mosby, 1985: 221-245
Glaser Joel S. The pupil and accomodation, in neuroophthalmology, Maryland ;
Herper & Row, 1978:35, 36, 174-179
Tjay hoan Tiondan dian raharja kirana, 1991. Obat-obat penting .Edisi IV.Jakarta : PT.Elex media kompatindo

efek hipoglikemia

Nama lengkap diabetes adalah diabetes mellitus yang berarti "gula madu". Istilah "diabetes melitus" berasal dari Bahasa Yunani yang jika diterjemahkan berarti "mengalirkan melalui pipa dengan tekanan atmosfer" dan dari Bahasa Latin yang dapat diterjemahkan menjadi "semanis madu".(Anonim, 2010)
Pengertian dari Bahasa Yunani dan Latin menggambarkan diabetes dengan tepat. Karena air melewati tubuh penderita diabetes seolah-olah dialirkan dari mulut lewat saluran kemih dan langsung keluar dari tubuh. Air seni diabetisi (pengidap diabetes) rasanya manis karena mengandung gula. Dulu, salah satu tes untuk diabetes ialah dengan menuangkan air seni sang pasien ke dekat sarang semut. Jika serangga itu mengerumuni air seni, hal ini menunjukkan adanya gula. Itu sebabnya diabetes sering disebut sebagai penyakit kencing manis.(Anonim, 2010)
Setiap makanan yang kita santap akan diubah menjadi energi oleh tubuh. Dalam lambung dan usus, makanan diuraikan menjadi beberapa elemen dasarnya, termasuk salah satu jenis gula, yaitu glukosa. Jika terdapat gula, maka pankreas menghasilkan insulin, yang membantu mengalirkan gula ke dalam sel-sel tubuh. Kemudian, gula tersebut dapat diserap dengan baik dalam tubuh dan dibakar untuk menghasilkan energi.(Anonim, 2010)
Ketika seseorang menderita diabetes maka pankreas orang tersebut tidak dapat menghasilkan cukup insulin untuk menyerap gula yang diperoleh dari makanan. Itu yang menyebabkan kadar gula dalam darah menjadi tinggi akibat timbunan gula dari makanan yang tidak dapat diserap dengan baik dan dibakar menjadi energi. Penyebab lain adalah insulin yang cacat atau tubuh tidak dapat memanfaatkan insulin dengan baik.(Anonim, 2010)
Insulin adalah hormon yang dihasilkan pankreas, sebuah organ di samping lambung. Hormon ini melekatkan dirinya pada reseptor-reseptor yang ada pada dinding sel. Insulin bertugas untuk membuka reseptor pada dinding sel agar glukosa memasuki sel. Lalu sel-sel tersebut mengubah glukosa menjadi energi yang diperlukan tubuh untuk melakukan aktivitas. Dengan kata lain, insulin membantu menyalurkan gula ke dalam sel agar diubah menjadi energi. Jika jumlah insulin tidak cukup, maka terjadi penimbunan gula dalam darah sehingga menyebabkan diabetes.(Anonim, 2010)
Penyebab penyakit kencing manis atau diabetes tergantung pada jenis diabetes yang diderita. Ada 2 jenis diabetes yang umum terjadi dan diderita banyak orang yaitu diabetes tipe 1 dan diabetes tipe 2. Perbedaannya adalah jika diabetes tipe 1 karena masalah fungsi organ pankreas tidak dapat menghasilkan insulin, sedangkan diabetes tipe 2 karena masalah jumlah insulin yang kurang bukan karena pankreas tidak bisa berfungsi baik.(Anonim, 2010)
Diabetes Tipe 1
Penyakit diabetes tipe 1 sering disebut Insulin Dependent Diabetes Mellitus atau Diabetes Mellitus yang Bergantung pada Insulin. Jadi diabetes tipe 1 berkaitan dengan ketidaksanggupan pankreas untuk membuat insulin. Jadi diabetes tipe ini berkaitan dengan kerusakan atau gangguan fungsi pankreas menghasilkan insulin.(Anonim, 2010)
Penderita penyakit diabetes tipe 1 sebagian besar terjadi pada orang di bawah umur 30 tahun. Itu sebabnya penyakit ini sering dijuluki diabetes anak-anak karena penderitanya lebih banyak terjadi pada anak-anak dan remaja. Pada diabetes tipe 1, pankreas tidak dapat menghasilkan cukup insulin akibat kelainan sistem imun tubuh yang menghancurkan sel yang menghasilkan insulin atau karena infeksi virus sehingga hormon insulin dalam tubuh berkurang dan mengakibatkan timbunan gula pada aliran darah.(Anonim, 2010)
Penyebab Diabetes Tipe 1
Pada diabetes tipe 1, pankreas tidak dapat menghasilkan cukup insulin. Karena kekurangan insulin menyebabkan glukosa tetap ada di dalam aliran darah dan tidak dapat digunakan sebagai energi. Beberapa penyebab pankreas tidak dapat menghasilkan cukup insulin pada penderita diabetes tipe 1, antara lain karena:
• Faktor keturunan atau genetika. Jika salah satu atau kedua orang tua menderita diabetes, maka anak akan berisiko terkena diabetes.
• Autoimunitas yaitu tubuh alergi terhadap salah satu jaringan atau jenis selnya sendiri—dalam hal ini, yang ada dalam pankreas. Tubuh kehilangan kemampuan untuk membentuk insulin karena sistem kekebalan tubuh menghancurkan sel-sel yang memproduksi insulin.
• Virus atau zat kimia yang menyebabkan kerusakan pada pulau sel (kelompok-kelompok sel) dalam pankreas tempat insulin dibuat. Semakin banyak pulau sel yang rusak, semakin besar kemungkinan seseorang menderita diabetes.(Anonim, 2010)
Perawatan Diabetes Tipe 1
Karena pankreas kesulitan menghasilkan insulin, maka insulin harus ditambahkan setiap hari. Umumnya dengan cara suntikan insulin. Apakah bisa dengan perawatan secara oral? Tidak bisa, karena insulin dapat hancur dalam lambung bila dimasukkan lewat mulut.(Anonim, 2010)
Cara lain adalah dengan memperbaiki fungsi kerja pankreas. Jika pankreas bisa kembali berfungsi dengan normal, maka pankreas bisa memenuhi kebutuhan insulin yang dibutuhkan tubuh.(Anonim, 2010)
Diabetes Tipe 2
Penyakit diabetes tipe 2 sering juga disebut Non-Insulin Dependent Diabetes Mellitus atau Diabetes Mellitus Tanpa Bergantung pada Insulin. Berbeda dengan diabetest tipe 1, pada tipe 2 masalahnya bukan karena pankreas tidak membuat insulin tetapi karena insulin yang dibuat tidak cukup. Kebanyakan dari insulin yang diproduksi dihisap oleh sel-sel lemak akibat gaya hidup dan pola makan yang tidak baik. Sedangkan pankreas tidak dapat membuat cukup insulin untuk mengatasi kekurangan insulin sehingga kadar gula dalam darah akan naik.(Anonim, 2010)
Diabetes tipe 2 merupakan jenis diabetes yang sebagian besar diderita. Sekitar 90% hingga 95% penderita diabetes menderita diabetes tipe 2. Jenis diabetes ini paling sering diderita oleh orang dewasa yang berusia lebih dari 30 tahun dan cenderung semakin parah secara bertahap.(Anonim, 2010)
Penyebab Diabetes Tipe 2
Penyebab diabetes tipe 2 karena insulin yang dihasilkan oleh pankreas tidak mencukupi untuk mengikat gula yang ada dalam darah akibat pola makan atau gaya hidup yang tidak sehat. Beberapa penyebab utama diabetes tipe 2 dapat diringkaskan sebagai berikut:
• Faktor keturunan, apabila orang tua atau adanya saudara sekandung yang mengalaminya.
• Pola makan atau gaya hidup yang tidak sehat. Banyaknya gerai makanan cepat saji (fast food) yang menyajikan makanan berlemak dan tidak sehat.
• Kadar kolesterol yang tinggi.
• Jarang berolahraga.
• Obesitas atau kelebihan berat badan.(Anonim, 2010)
Semua penyebab diabetes tipe 2 umumnya karena gaya hidup yang tidak sehat. Hal ini membuat metabolisme dalam tubuh yang tidak sempurna sehingga membuat insulin dalam tubuh tidak dapat berfungsi dengan baik. Hormon insulin dapat diserap oleh lemak yang ada dalam tubuh. Sehingga pola makan dan haya hidup yang tidak sehat bisa membuat tubuh kekurangan insulin.(Anonim, 2010)
Perawatan Diabetes Tipe 2
Perawatan diabetes tipe 2 adalah dengan memaksa fungsi kerja pankreas sehingga dapat menghasilkan insulin lebih banyak. Jika pankreas bisa menghasilkan insulin yang dibutuhkan tubuh, maka kadar gula dalam darah akan menurun karena dapat diubah menjadi energi. Dalam banyak kasus, dapat diobati dengan minum pil, paling tidak pada awalnya, untuk merangsang pankreas agar menghasilkan lebih banyak insulin. Pil itu sendiri bukan insulin.(Anonim, 2010)
Namun pankreas bisa lelah menghasilkan insulin jika terus menerus dipaksa. Cara terbaik untuk mengatasi diabetes tipe 2 adalah dengan diet yang baik untuk mengurangi berat badan dan kadar gula, disertai dengan gerak badan yang sesuai.(Anonim, 2010)
Diabetes melitus merupakan suatu kelompok kelainan heterogen yang
ditandai oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hyperglikemia. Glukosa secara normal bersirkulasi dalam jumlah tertentu dalam darah. Glukosa dibentuk di hati dari makanan yang dikonsumsi (Brunner & Suddarth, 1997).
Klasifikasi DM menurut American Diabetes Association (1997) sesuai anjuran Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) adalah:
1. Diabetes Tipe 1: Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM)
2. Diabetes tipe II: Diabetes melitus tidak tergantung insulin (Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus [NIDDM]), terjadi akibat penurunan sensitivitas terhadap insulin (resistensi insulin) atau akibat penurunan jumlah produksi insulin
3. Diabetes Melitus tipe lain
4. Diabetes Melitus Gestasional (Gestasional Diabetes Mellitus [GDM])
Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) atau Diabetes Melitus Tidak Tergantung Insulin (DMTTI) disebabkan karena kegagalan relatif sel ? dan resistensi insulin. Resistensi insulin adalah turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati. Sel ? tidak mampu mengimbangi resistensi insulin ini sepenuhnya, artinya terjadi defisiensi relatif insulin. Ketidakmampuan ini terlihat dari berkurangnya sekresi insulin pada rangsangan glukosa, namun pada rangsangan glukosa bersama bahan perangsang sekresi insulin lain. Berarti sel ? pankreas mengalami desensitisasi terhadap glukosa (Mansjoer, 2001).
1. Diabetes Tipe I
Terdapat ketidakmampuan untuk menghasilkan insulin karena sel-sel ? pankreas telah dihancurkan oleh proses autoimun. Glukosa yang berasal dari makanan tidak dapat disimpan dalam hati meskipun tetap berada dalam darah dan menimbulkan hiperglikemia postprandial (sesudah makan).(smetzer, 2001)
Jika konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi, ginjal tidak dapat menyerap kembali semua glukosa yang tersaring keluar akibatnya glukosa tersebut diekskresikan dalam urin (glukosuria). Ekskresi ini akan disertai oleh pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan, keadaan ini dinamakan diuresis osmotik. Pasien mengalami peningkatan dalam berkemih (poliuria) dan rasa haus (polidipsi).
2. Diabetes Tipe II
Terdapat dua masalah utama yang berhubungan dengan insulin, yaitu: resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya insulin dengan reseptor tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa di dalam sel. Resistensi insulin pada diabetes tipe II disertai dengan penurunan reaksi intrasel, dengan demikian insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan.(smetzer, 2001)
Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya glukosa dalam darah harus terdapat peningkatan insulin yang disekresikan. Pada penderita toleransi glukosa terganggu, keadaan ini terjadi akibat sekresi insulin yang berlebihan dan kadar glukosa akan dipertahankan pada tingkat yang normal atau sedikit meningkat. Namun jika sel-sel ? tidak mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin maka kadar glukosa akan meningkat danterjadi diabetes tipe II.
Meskipun terjadi gangguan sekresi insulin yang merupakan ciri khas diabtes tipe II, namun terdapat jumlah insulin yang adekuat untuk mencegah pemecahan lemak dan produksi badan keton. Oleh karena itu, ketoasidosis diabetik tidak terjadi pada diabetes tipe II. Meskipun demikan, diabetes tipe II yang tidak terkontrol dapat menimbulkan masalah akut lainnya yang dinamakan sindrom hiperglikemik hiperosmoler nonketotik. Akibat intoleransi glukosa yang berlangsung lambat dan progresif, maka awitan diabetes tipe II dapat berjalan tanpa terdeteksi, gejalanya sering bersifat ringan dan dapat mencakup kelelahan, iritabilitas, poliuria, polidipsia, luka pada kulit yang tidak sembuh-sembuh, infeksi dan pandangan yang kabur.
3. Diabetes Gestasional
Terjadi pada wanita yang tidak menderita diabetes sebelum kehamilannya. Hiperglikemia terjadi selama kehamilan akibat sekresi hormone-hormon plasenta. Sesudah melahirkan bayi, kadar glukosa darah pada wanita yang menderita diabetes gestasional akan kembali normal.(smetzer, 2001)
Diagnosis DM Tipe II (Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus) ditandai dengan adanya gejala berupa polifagia, poliuria, polidipsia, lemas dan berat badan turun. Gejala lain yang mungkin dikeluhkan pasien adalah kesemutan, gatal, mata kabur dan impoteni pada pria serta pruritus vulva pada wanita.(waspadji, 1996)
Pemeriksaan penyaring perlu dilakukan pada kelompok dengan resiko tinggi untuk DM, yaitu kelompok usia dewasa tua (> 40 tahun), obesitas, tekanan darah tinggi, riwayat keluarga DM, riwayat kehamilan dengan berat badan bayi > 4000 gr, riwayat DM pada kehamilan dan dislipidemia. (waspadji, 1996)
Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan dengan pemeriksan glukosa darah sewaktu, kadar glukosa darah puasa. Kemudian dapat diikuti dengan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) standar.(waspadji, 1996)
Cara pemeriksaan TTGO (WHO, 1985) adalah:
1. Tiga hari sebelum pemerksaan pasien makan seperti biasa.
2. Kegiatan jasmani sementara cukup, tidak terlalu banyak.
3. Pasien puasa semalam selama 10-12 jam.
4. Perikasa glukosa darah puasa.
5. Berikan glukosa 75 gr yang dilarutkan dalam air 250 ml, lalu minum dalam waktu 5 menit.
6. Perikasa glukosa darah 1 jam dan 2 jam sesudah beban glukosa.
7. Selama pemeriksaan, pasien yang diperisa tetap istirahat dan tidak merokok.
Keluhan dan gejala yang khas ditambah hasil pemeriksaan glukosa darah sewaktu > 200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. bila hasil pemeriksaan glukosa darah meragukan, pemeriksaaan TTGO diperlukan untuk memastikan diagnosis DM. Untuk diagnosis DM dan gangguan toleransi glukosa lainnya diperiksa glukosa darah 2 jam setelah beban glukosa. Sekurang-kurangnya diperlukan kadar glukosa darah 2 kali abnormal untuk konfirmasi diagnosis DM pada hari yang alain atau TTGO yang abnormal.(waspadji, 1996)
Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa dengan metode enzimatik sebagai patokan penyaring dan diagnosis (mg/dl)
Bukan DM Belum pasti DM DM
Kadar glukosa darah sewaktu
- Plasma vena < 110 110 – 199 > 200
- Darah kapiler < 90 90 – 199 > 200
Kadar glukosa darah puasa
- Plasma vena < 110 110 – 125 > 126
- Darah kapiler < 90 90 – 109 > 110
Prinsip dasar diit diabetes
Prinsip dasar diit diabetes adalah pemberian kalori sesuai dengan kebutuhan. Cara sederhana untuk mengetahui kebutuhan dasar adalah sebagai berikut:
Untuk wanita : (Berat Badan Ideal x 25 kalori) ditambah 20 % untuk aktifitas
Untuk pria : (Berat Badan Ideal x 30 kalori) ditambah 20 % untuk aktifitas
Prinsip kedua adalah menghindari konsumsi gula dan makanan ynag mengandung gula didalamnya. Sebaiknya juga menghindari konsumsi hidrat arang hasil dari pabrik yang berupa tepung dengan segala produknya. Hidrat arang olahan ini akan lebih cepat diubah menjadi gula di dalam darah.
Prinsip ketiga adalah mengurangi konsumsi lemak dalam makanan sehari-hari. Tubuh penderita diabetes akan lebih mengalami kelebihan lemak darah, kelebihan lemak ini berasal dari gula darah yang tidak terpakai sebagai energi.
Prinsip keempat adalah memperbanyak konsumsi serat dalam makanan. Yang terbaik adalah serat yang larut air seperti pectin (ada dalam buah apel), segala jenis kacang-kacangan dan biji-bijian (asal tidak digoreng!). serat larut air ini terbukti dapat menurunkan kadar gula darah. Semua jenis serat akan memperbaiki pencernaan, mempercepat masa transit usus, serta memperlambat penyerapan gula dan lemak.(sibbuea, 1997)
Perencanaan makan bagi penderita diabetes sesuai standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi: Karbohidrat 60-70%, protein 10-15%, lemak 20-25%.makanan dengan komposisi KH sampai 70-75% masih memberikan hasil yang baik. Jumlah kandungan kolesterol disarankan < 300 mg/hari. Diusahakan lemak berasal dari sumber asam lemak tidak jenuh (MUFA, Mono Unsaturated Fatty Acid) dan membatasi PUFA (Poly Unsaturated Fatty Acid) dan asam lemak jenuh. Jumlah kandungan serat 25 gr/hari, diutamakan serat larut. Pemanis buatan yang tidak bergizi, yang aman dan dapat diterima untuk digunakan pasien diabetes termasuk yang sedang hamil adalah: sakarin, aspartame, acesulfame, potassium dan sucralose (PERKENI, 2002). Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, ada tidaknya stress akut dan kegiatan jasmani.(sibbuea, 1997)
Seseorang yang mengalami hiperglikemia tidak akan merasakan gejala apapun. Walaupun demikian semakin tinggu kadar gula darah atau sekitar 160mg/dL biasanya akan semakin sering kencing atau semakin sering merasa haus. Semakin tinggi tingkat hiperglikemia postprandial, semakin meningkat pula risiko penyakit kardiovaskular.(Anonim, 2007)




DAFTAR PUSTAKA
Anonim, (2011)
http://www.news-medical.net/health/Defining-Hypoglycemia-(Indonesian).aspx
Anonim, (2010)
http://kumpulan.info/sehat/artikel-kesehatan/48-artikel-kesehatan/271-diabetes-penyakit-gula.html
Anonim, (2007)
http://pharos.co.id/news-a-media/beritakesehatan/447-hiperglikemia-gula-darah-tinggi.html
Brunner & Suddarth. (1997). Keperawatan Medikal Bedah, alih bahasa Hartono, A., Kuncara, M., Ester, M., Edisi 8, Vol. 2, Jakarta: EGC
Mansjoer, A. (2001), Kapita Selekta Kedokteran, Edisi ketiga, Jilid pertama, Jakarta: Media Aesculapius FKUI
Sibbuea, W. (1997), Perencanaan Makan Penderita Diabetes Dengan sistem Unit, Jakarta: Infomedika
Smetzer. (2001), Buku Keperawatan Medikal Bedah, alih bahasa Waluyo, A., Edisi 8, Vol. I, Jakara: EGC
Waspadji, S. (1996), Ilmu Penyakit Dalam, Edisi 3, Jilid I, Jakarta: Balai Penerbit FKUI
Suharto, B, en at all, 1995, INSULIN, GLUKAGON DAN ANTIDIABETIK ORAL
dalam Ganiswarna (Editor), FARMAKOLOGI DAN TERAPI, Edisi IV,
Bagian Farmakologi FK – UI, Jakarta, Hal 467, 476 – 479